Minggu, 16 Juni 2013

Khilafah Tidak Boleh Dipandang Lebih Dari Sekedar Metode

Khilafah Tidak Boleh Dipandang Lebih Dari Sekedar Metode

Berdirinya khilafah bukan merupakan tujuan utama, melainkan khilafah hanyalah metode alias thariqah yang menjadi keniscayaan jika kita ingin mewujudkan kehidupan masyarakat yang islami dan menyebarkan dakwah Islam ke segenap penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Lebih dari itu, semuanya diwujudkan semata-mata untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala. Pendiri Hizbut tahrir, Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhaniy menyinggung hal ini di dalam kutaib Dukhulul Mujtama’ (Memasuki Masyarakat),  beliau menyatakan:
kitab ht“Hanya saja, yang tidak boleh lepas dari benak -meski hanya sekejap- adalah bahwa yang menjadi tujuan bukanlah pemerintahan, akan tetapi tujuan sebenarnya adalah membangkitkan kembali kehidupan Islam (yang telah terputus) serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam, dimana metode untuk mewujudkan itu adalah dengan mendirikan pemerintahan. Meraih kekuasaan hanyalah metode untuk menjadikan kehidupan yang ada menjadi kehidupan yang islami, yaitu menjadikan segala bentuk interaksi yang berlangsung di tengah masyarakat menjadi interaksi yang islami. Pemerintahan tidak boleh dipandang lebih dari sekedar metode. Dengan demikian, masalah sebenarnya bukanlah sekedar menjatuhkan kaum penguasa semata, akan tetapi masalahnya adalah bagaimana menjadikan pemikiran-pemikiran Islam dapat dominan di tengah masyarakat, sedemikian sehingga, jatuhnya para penguasa dan terebutnya kekuasaan dari tangan mereka terjadi melalui dominasi pemikiran-pemikiran tersebut.”

Adapun kenapa kehidupan kita harus menjadi kehidupan yang islami? kenapa interaksi kita harus islami? Dan kenapa kita harus mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia? Maka alasan utamanya adalah untuk mencapai ridha Allah dengan mentaati apa yang menjadi perintah dan laranganNya. Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani menyatakan : ”seorang muslim wajib menjalankan seluruh aktivitasnya dengan memperhatikan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, sedangkan ghoyah yang menjadi tujuan dari aktivitas yang dijalankannya itu adalah mencapai keridhaan Allah.” (Mafahim Hizbit Tahrir, hal 27).
 teks asli di dukhulul mujtama’
إلا أن الذي يجب أن لا يغيب عن الذهن لحظة واحدة, أن الغاية ليست الحكم, بل الغاية إستئناف الحياة الإسلامية, وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم. وأن طريقة ذلك هو الحكم. وأخذ السلطة إنما هو طريقة لجعل الحياة حياة إسلامية, أي لجعل العلاقات القائمة بين الناس علاقات إسلامية. ولا يجوز أن ينظر إلى الحكم أكثر من كونه طريقة فقط ليس أكثر. فالقضية ليست العمل فقط لتحطيم رجال الحكم بل القضية هي جعل أفكار الإسلام طاغية في المجتمع حتى يجري هذا التحطيم لرجال الحكم, وأخذ السلطان منهم عن طريق طغيان هذه الأفكار
- See more at: http://www.titokpriastomo.com/renungan/khilafah-tidak-boleh-dipandang-lebih-dari-sekedar-metode.html#sthash.vo5LFwDi.dpuf

Minggu, 06 Januari 2013

Seluruh Muslim Wajib Bersatu Dalam Kepemimpinan Seorang Imam


Kewajiban Bersatu Dalam Kepemimpinan Satu Orang Imam


Islam menjadikan kaum muslimin sebagai umat yang satu, menghimpun  mereka dalam satu negara, memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara dan umat yang satu tersebut, imam yang bertugas untuk menegakkan islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh islam[1] (Al marhum Abdul Qodir Audah[2])

Muqoddimah
Sejak sebagian besar negeri-negeri muslim lepas dari penjajahan fisik, kaum muslimin mulai mencurahkan loyalitas mereka kepada entitas politik baru yang disebut dengan negara bangsa. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai melupakan ketentuan dalam agama mereka tetang kewajiban bersatu di bawah kepemimpinan seorang imam berikut sejarah negara mereka yang panjang. Bahkan, sebagian dari mereka sampai menyatakan bahwa ajakan bersatu dalam satu negara merupakan hal yang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Dr. Musthofa Hilmi berkata: “tampak nyata bahwa umat islam benar-benar telah melupakan pemahaman tentang khilafah sebagai sebuah sistem bagi negara yang berdiri guna menerapkan hukum Ilahiy, mewujudkan iklim sosial yang di dalamnya terwujud keadilan, meratakan keamanan, mewujudkan kemuliaan manusia, dan menyediakan metode kehidupan yang sesuai dengan syara’, karena sesungguhnya tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya sarana politik yang dapat  mewujudkan kesatuan umat islam dan tolong-menolong antar anggotanya”[3]Maka, tulisan ini mencoba mengingatkan kembali akan kewajiban tersebut, seraya menunjukkan bahwa kewajiban bersatu dalam satu pemerintahan bagi seluruh umat islam merupakan hal yang sangat dikenal oleh para ulama.

Pernyataan Para Ulama
Berikut ini adalah perkataan beberapa ulama mengenai wajibnya kesatuan imamah bagi kaum muslimin.

Al Imam Al Mawardi[4] berkata: “Apabila Imamah diakadkan kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda, maka imamah keduanya tidak teraqadkan, sebab umat tidak boleh memiliki dua orang imam dalam satu waktu, meskipun ada segolongan orang yang nyeleneh dan membolehkan hal itu”[5].

Al Imam Abu Ya'laa Al Farra'[6] berkata: “Tidak boleh ada aqad imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda pada satu waktu.”[7]

Al Imam Ibnu Hazm[8] berkata: “Tidak dihalalkan adanya imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”[9]. Bahkan di dalam Marotibul Ijma’, Ibnu Hazm menghitung masalah ini sebagai hal yang disepakati oleh para ulama, beliau berkata: “dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling berdamai atau pun bermusuhan, baik keduanya ditempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda[10]

Al Imam An Nawawi[11] berkata: “para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dilakukan aqad kepada dua orang kholifah pada satu waktu, baik wilayah Darul Islam itu meluas atau pun tidak”[12]

Asy Syaikh Abdur Rahman Al Jazairi menyatakan bahwa hal tersebut merupakan perkara yang disepakati oleh Empat Imam. Al Jazairi berkata: “Para imam -semoga Allah merahmati mereka- telah bersepakat bahwa Al Imamah itu wajib, sebab umat harus memiliki seorang pemimpin guna menegakkan syariat-syariat agama serta membela orang-orang yang terdzolimi dari kedzaliman orang-orang dzalim, dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu waktu, baik dua imam tersebut sepakat  atau pun bermusuhan, …”[13].

Demikianlah, kewajiban bersatu dalam satu imamah serta keharaman pengangkatan  dua orang imam atau lebih merupakan pendapat mayoritas ulama yang diperhitungkan oleh umat. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap masalah ini sebagai ijma’, tidak ada yang menyangkal kewajiban ini kecuali segelintir orang dari kelompok marginal yang tidak populer.

Dalil-dalil Jumhur Ulama

1. Dari As Sunnah
Ibnu Hazm dan An Nawawi menggunakan empat buah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[14] dalam shohihnya untuk menyatakan bahwa umat islam di seluruh dunia diharamkan memiliki dua orang imam dalam satu waktu.

Dari ‘Arfajah, bahwa dia mendengar Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَ أَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَ عَصَاكُمْ وَ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
Barang siapa datang kepada kalian karena hendak mematahkan tongkat kalian dan memecah-belah jama’ah kalian, padahal urusan kalian bersatu pada seorang laki-laki, maka bunuhlah orang tersebut!”

Hadits ini mengungkapkan adanya perintah untuk membunuh orang yang hendak memecah kesatuan umat ketika mereka bersatu di bawah pemerintahan seorang pemimpin. Ini menunjukkan haramnya memecah kesatuan umat ke dalam dua pemerintahan atau lebih.

Abdullah bin Amr bin Al Ash ra. meriwayatkan hadits yang panjang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau bersabda:

وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِهِ وَ ثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْبُوْا عُنُقَ الآخَرِ
barang siapa membai’at seorang imam, maka hendaklah dia memberikan uluran tangan dan buah hatinya kepadanya, dan hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya, dan jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang lain tersebut!

Khithob hadits ini tertuju kepada seluruh kaum muslimin tanpa batasan dan pengecualian. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa ketika umat islam sudah membai’at seorang imam, maka mereka tidak boleh membiarkan adanya imam yang lain.

Dari Abu Said Al Khudri ra. bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآ جَرَ مِنْهُمَا
apabila dibai’at dua orang kholifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya!”

Hadits di atas juga berbentuk mutlak, tanpa batasan. Artinya, tidak boleh ada dua orang kholifah bagi umat islam di seluruh dunia.

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ, كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌ خَلَفَهُ نَبِيٌ, وَإنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي, وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا? قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ, وَاَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَر عَاهُمْ

Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat maka akan digantikan oleh seorang nabi yang lain. Namun tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada para kholifah yang banyak. Para shohabat berkata: lantas apa yang engkau perintahkan keapda kami? Nabi berkata: penuhilah baiat yang pertama, begitu seterusnya, dan berilah mereka hak-hak mereka, karena Allah akan menanyai apa yang menjadi tanggungjawab mereka”.

Hadits ini juga mutlak, memerintahkan seluruh umat islam untuk memenuhi satu bai’at saja, yaitu bai’at yang pertama.

2. Ijma’ Shohabat
Jumhur juga menyandarkan keharaman adanya dua pemimpin untuk seluruh umat islam di dunia dengan ijma’ shohabat. Setelah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, para shohabat sepakat untuk mengangkat seorang imam, dan menolak pendapat seorang anshor yang berkata: “bagi Qoraisy seorang amir dan bagi kita seorang amir juga”[15]. Abu Bakar ra. mengatakan “tidak dihalalkan kaum muslimin memiliki dua orang amir, betapapun baiknya hal itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum  mereka akan mengalami perselisihan, jama’ah mereka akan terpecah belah, dan mereka akan saling memperebutkan kekuasaan, saat itulah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah membesar, sementara tidak ada seorang pun yang bisa memperbaikinya”. (diriwayatkan oleh Al Imam Al Baihaqi)

Hal ini diperkuat dengan kenyataan yang mereka praktekkan. Tatkala wilayah Islam pada masa para shohabat meluas sampai meliputi Jazirah Arab, Syam, Mesir dan Persia, (Saudi, Uni Emirat, Mesir, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, Kuwait, Irak, Iran, Palestina, Yordania, Siria, Lebanon dan Israel) mereka tetap mempertahankan kesatuan negara. Itulah ijma’ mereka mengenai kesatuan pemerintahan meskipun wilayah Negara Islam meluas ke banyak negeri[16].

Mendiskusikan Kutipan Dari Imam Al Haramain
Memang benar, ada ulama yang menyatakan bahwa bai’at atas dua orang imam itu dibolehkan. Yang paling banyak dikutip adalah ungkapan Imam Al Haromain[17]. Dalam Al Irsyad, beliau berkata “Para sahabat kami berpendapat mengenai adanya larangan penyerahan  aqad imamah kepada dua orang di dua belahan dunia yang berbeda. Kemudian mereka berkata: seandainya ada orang-orang yang melakukan aqad penyerahan imamah kepada dua orang, maka akan sama seperti dua orang wali yang menikahkan seorang wanita kepada dua orang suami, di mana setiap pihak tidak mengetahui aqad yang dilakukan oleh pihak lain. Masalah dirinci dalam ilmu fiqh.  Menurut saya, aqad imamah kepada dua orang dalam satu daerah dengan batas dan wilayah yang sempit itu tidak boleh, telah ada ijma' mengenai hal tersebut. Namun apabila ruang pemisahnya jauh, di antara kedua imam itu terbentang sekat yang lebar, maka peluang untuk itu ada, dan masalah ini tidak termasuk dalam perkara qoth'i.[18]

Lebih tegas, Al Imam Al Qurthubi[19]  dalam tafsirnya menyatakan:”hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya larangan untuk mendirikan dua Imamah, sebab hal tersebut akan menghasilkan nifaq, pertentangan, perpecahan, lahirnya fitnah dan lenyapnya kenikmatan. Namun jika teradapat negeri yang saling berjauhan dan terpisah, seperti antara Khurosan dan Spanyol, maka hal itu dibolehkan”. Kemudian beliau mengutip pernyataan Al Juwaini di atas[20].

Hanya saja, An Nawawi mengomentari pernyataan Imam Al Haramain tersebut, “Al Mawarzi mengutip perkataan tersebut dari sebagian ulama ahli ushul generasi akhir, dan  yang dia maksud adalah Imam Al Haramain. Pendapat tersebut merupakan pendapat rusak, menyalahi pendapat ulama salaf maupun kholaf, dan menyalahi kemutlakan dari ungkapan literal hadits-hadits yang ada[21].”

Namun, jika kita menelaah pendapat yang dikutip oleh Imam Al Haramain secara jujur, niscaya akan kita temukan bahwa pendapat tersebut tidak menyatakan kebolehan banyak imam secara mutlak. Kebolehan itu diikat dengan adanya wilayah yang jauh terpisah dari pusat pemerintahan Islam, sehingga tidak bisa disatukan di bawah satu pemerintahan. Namun, jika penyatuan itu masih dimungkinkan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk bersatu di bawah pemerintahan seorang imam atau kholifah. Dalam kitab Ghiyatsul Umam, Imam Al HAramain menyatakan: ” Apabila pengankatan satu orang imam yang perhatiannya dapat meliputi seluruh batas wilayah Islam, pengaruhnya dapat mencakup segenap rakyat dalam seluruh tingkatan yang ada, baik di belahan bumi bagian timur maupun bagian barat, dapat dilakukan dengan mudah, maka pengangkatan dua imam -dalam kondisi seperti ini- tidak dibolehkan. Ini merupakan perkara yang disepakati, tidak ditemukan perbedaan pendapat dalam hal ini.”[22].

Kemudian beliau memaparkan pentingnya menjaga kesatuan yang telah disepakati, lalu menyatakan: “Adapun perkara yang menjadi objek perselisihan berbagai madzhab adalah kondisi di mana pandangan seorang imam tidak mampu meliputi seluruh daerah kekuasaan. Hal yang demikian itu bisa tergambar karena beberapa sebab yang tidak samar, antara lain: meluasnya wilayah, tersebarnya islam ke berbagai negeri yang saling berjauhan, adanya pulau-pulau di seberang lautan, adanya manusia menempati bagian dunia yang tidak terjangkau oleh perhatian imam, dan –kadangkala- wilayah darul kufur menyisip di antara (memisahkan) wilayah Islam sehingga hal itu menyebabkan perhatian imam tidak menjangkau kaum muslimin yang ada di baliknya... Setelah menyepakati perkara yang telah kami sebutkan sebelumnya, pada kondisi ini, sebagian orang beralih pada pendapat yang membolehkan pengangkatan seorang imam di negeri yang tidak dijangkau oleh pengaruh perhatian imam. Pendapat ini dinisbatkan kepada Syaikh kami Abul Hasan (Al Asy’ari -pent) dan Ustadz Abu Ishaq Al Isfaroyini -ra- dan selain keduanya.”.[23]

Apa yang dinukil oleh Al Juwaini dari pendahulunya ini tidak berbeda jauh dengan perkataan Al Imam Abdul Qohir Al Baghdadi[24] di dalam Ushulud Diin, beliau menyatakan: “para sahabat kami menyatakan bahwa tidak boleh ada dua imam yang wajib ditaati di dalam satu waktu. Pemegang jabatan Imamah itu hanya satu, sedangkan yang lain ada di bawah benderanya. Jika ada pihak yang keluar dari pemerintahannya tanpa alasan, maka orang yang keluar itu wajib dilengserkan, mereka dianggap bughot. Dikecualikan bagi dua negeri (yang terpisah -pent) sehingga sampainya pertolongan penduduk negeri yang satu kepada penduduk negeri yang lain terhalang, maka dalam keadaan demikian dibolehkan bagi dari kedua negeri itu untuk mengangkat imam bagi penduduknya”[25]. Al Qurthubi mengatakan: Al Ustadz Abu Ishaq[26] membolehkannya pada dua daerah yang saling terpisah dengan ruang pemisah yang sangat jauh, sebab jika tidak ada imam niscaya terjadi penelantaran hak-hak masyarakat dan hukum-hukumnya”[27].

Jelas melalui apa yang diungkapkan oleh Al Juwaini, Al Isfaroyini, Al Baghdadi dan Al Qurthubi, bahwa pada asalnya kesatuan pemerintahan itu wajib. Bolehnya lebih dari satu imam menurut mereka hanya karena ada kondisi darurat yang menghalangi penyatuan tersebut. Menurut Al Juwaini, yang menghalangi adalah tidak sampainya pemeliharaan negara ke wilayah yang terpisah jauh dari pusat pemerintahan islam. Sedangkan menurut Al Baghdadi, suatu wilayah yang tidak terjangkau oleh pertolongan penduduk wilayah lain maka wilayah itu boleh mengangkat pemimpinnya sendiri. Secara lebih gamblang, Abu Ishaq Al Isfaroyini –sebagaimana dikutip oleh Al Qurthubi- menjelaskan alasannya, yaitu agar kemaslahatan umat dan hukum-hukum syara’ tidak terlantar karena tidak adanya pemerintah.

Atas dasar itu, bisa kita katakan bahwa menurut mereka pengangkatan dua orang imam itu asalnya tidak boleh. Kalau pun boleh itu hanyalah keringanan akibat situasi darurat, sehingga hukum asal tidak bisa diberlakukan. Faktor yang menimbulkan situasi darurat di sini adalah tidak adanya daya jangkau kholifah kepada suatu wilayah yang terpisah, seperti dipisahan oleh lautan atau di balik darul kufur. Maka, jika faktor penghalang ini bisa diatasi, tentu saja keadaan darurat itu menjadi hilang. Jika keadaan darurat hilang, maka keringananpun  juga hilang, dan hukum asal pun akan berlaku kembali.

Kesimpulan di atas senada dengan apa yang diungkap oleh penulis kitab Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahli as Sunnah wa al Jama’ah. Sang penulis menyatakan: ”… menelaah pandangan ulama yang membolehkan (lebih dari satu imam) karena perluasan wilayah, terlihat bahwa penyebabnya tidak lain karena adanya  keadaan darurat, sementara kesatuan Imamah tetap merupakan hukum asal. Artinya, kebolehan banyak imam itu sekedar pengecualian akibat adanya kondisi darurat, lalu membuatnya menjadi boleh. Namun, keadaan darurat itu hanya diberlakukan sebatas kadarnya, apabila keadaan darurat tersebut hilang, maka hilang pulalah hukumnya, sehingga masalahnya harus kembali kepada hukum asal”[28].

Mengatasi Masalah Jarak
Status darurat yang disebutkan oleh Al Juwaini dari pendahulunya, berupa masalah jarak, pada masa ini sangat mungkin untuk dihinlangkan. Mengenai bagaimana agar kebijakan pemerintah dapat menjangkau wilayah yang jauh, bisa diatasi tanpa menciptakan banyak pemerintahan yang otonom. Sebab, kholifah bisa menempatkan para wali atau gubernur di wilayah-wilayah tersebut guna mewakilinya untuk melakukan pemeliharaan urusan rakyat tanpa menyandang jabatan sebagai imam atau kholifah. Hal tersebut telah dipraktekan oleh para kholifah sejak masa-masa awal. Seperti itulah Umar bin Khoththob ra. menjaga integritas wilayah Negara Islam yang beliau pimpin, yang meliputi seluruh Jazirah Arab, Iraq –dengan Abu Musa sebagai wali di Kufah dan Al Mughirah sebagai wali di Bashrah, Mesir –dengan Amr bin Al Ash sebagai gubernurnya- dan Syam –dengan Mu’awiyyah sebagai gubernurnya[29]. Komunikasi antara Madinah dan Bashrah, misalnya, dilakukan dengan kuda selama beberapa pekan. Tapi kholifah tetap memimpin wilayah itu melalui gubernurnya tanpa memecah pemerintahan.

Solusi tersebutlah yang dipilih oleh Imam Al Haramain untuk wilayah yang jauh terpisah dari pusat pemerintahan. Beliau menyatakan, "Dalam hal ini aku (Imam Al Haromain) berpendapat, dengan minta pertolongan kepada Allah: jika sebelumnya telah ada akad imamah kepada orang yang layak, dan kita memandang dia memegang akad memiliki otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) yang berlaku di seluruh wilayah, kemudian terdapat atau muncul secara tiba-tiba perkara yang menghalangi perhatiannya, maka tidak ada alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam. Akan tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang pemimpin (amir), agar mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam segala yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Dan kedudukan tersebut bukanlah jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang tersebut telah hilang, dan perhatian imam sudah mampu menjangkau mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam seraya menyampaikan salam kepadanya. Sedangkan imam menerima  udzur mereka kemudian mengurusi kepentingan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan mereka itu) tetap berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya penggantian amir, maka pendapatnya diikuti, dan kepadanyalah (kaum muslimin) merujuk"[30].

Perhatikan bagaimana Imam Al-Haramain menyebut pemimpin di daerah yang tidak terjangkau oleh pusat pemerintahan islam itu dengan sebutan amir, beliau tidak menganggapnya sebagai imam. Karena, menurut beliau, tidak boleh ada dua orang di dunia ini yang menyandang jabatan imam a'dhom. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau tidak sepakat dengan pendapat yang dinisbatkan kepada Al-Asy'ari dan Abu Ishaq tentang kebolehan mengangkat dua imam di dua wilayah yang terpisah jauh.

Di samping solusi di atas, kecanggihan alat transportasi dan komunikasi canggih saat ini, tentu membuat masalah jarak menjadi tidak relevan lagi untuk  dipermasalahkan, sebab dengan sarana yang ada, masalah jarak sudah bukan hambatan lagi. Dengan demikian, mengutip pendapat Al Asy'ari dan yang lainnnya untuk menolak kewajiban bersatu di bawah satu pemerintahan islam pada era modern ini adalah suatu hal yang ketinggalan zaman, apalagi untuk daerah yang saling berdekatan seperti Jazirah Arab, tanah Syam, Irak dan Mesir.

Dalam Kitab Al Imamah Al ‘Udzma dinyatakan: “Sesungguhnya dakwaan bahwa banyaknya pemimpin dapat memudahkan fungsi pengelolaan dan pencapaian kemaslahatan bagi rakyat adalah tidak tepat[31], terlebih lagi untuk zaman kita sekarang ini dengan adanya kemajuan yang sangat pesat dan menakjubkan dalam bidang sarana transportasi dan komunikasi. Itu semua tidak lagi menyisakan ruang keraguan mengenai kemungkinan untuk mewujudkan integritas dan pengelolaan wilayah dengan cara yang mudah. Dengan demikian, adalah mungkin untuk menyerahkan tugas dan mendelegasikan pemeliharaan urusan umat di setiap daerah kepada para gubernur (wali) yang mewakili”… “masalah kesatuan pemerintahan islam telah dapat diwujudkan dan dipertahankan secara nyata pada masa-masa awal, meskipun wilayah kekuasaan islam terus meluas dan dengan sarana transportasi serta komunikasi yang minim pada zaman tersebut. Bersamaan dengan itu, lembaran-lembaran sejarah telah menuliskan dengan jelas bagaimana umat ini memiliki kekuatan dan manajemen yang baik. Tentu saja hal tersebut lebih mungkin untuk diwujudkan pada masa sekarang dengan berbagai kemudahan yang ada. Maka dari itu, pada masa sekarang, orang-orang yang menjadikan keadaan darurat sebagai alasan tidak lagi memiliki hujah”[32].

Seandainya Imam Al-Asy'ari, Abu Ishaq, Al-Baghdadi, Al-Qurthubi dan yang lainya melihat sarana transportasi dan komunikasi yang ada sekarang, niscaya mereka tidak akan menjadikan jarak sebagai kendala. Dengan ini, kita bisa melihat bahwa mereka tidaklah bisa digolongankan ke dalam kelompok yang mendukung adanya banyak negara bangsa seperti sekarang. Mereka tetap tergolong kelompok jumhur yang mewajibkan kesatuan pemerintahan[33], sebagaimana Al Mawardi, Al Farra, Ibnu Hazm dan An Nawawi.

Penutup

Adanya kewajiban bagi umat islam di seluruh dunia untuk bersatu di bawah satu pemerintahan dan haramnya mengangkat dua imam atau lebih merupakan pendapat jumhur umat islam yang didasarkan pada dalil-dalil syara’ yang kuat. Di samping itu, fakta kesatuan pemerintahan tersebut pernah terwujud dalam sejarah islam yang panjang. Negara Islam pernah menyatukan wilayah yang sangat luas, terbentang dari Maroko -di belahan barat- sampai India -di belahan timur-. Dengan kesatuan inilah umat islam mengalami zaman keemasannya, meraih reputasi sebagai umat yang solid dan tak terkalahkan. Semoga Allah menganugerahkan kesatuan itu kembali melalui Negara Khilafah yang akan segera tegak melalui pertolonganNya. Aamiin … [~titok~]
Mrisi, 26 Juli 2010


[1] Dr. Abdul Qodir Audah, Al Islam wa Audho’unaa As Siyaasiyyah, hal. 278, Muassasah Ar Risalah, 1981
[2] Seorang ulama dari gerakan Ikhwanul Muslimin, Mesir. Penulis buku “At Tasyri’ al Jina’i fi al Islam.
[3] Dr. Musthofa Hilmi, Nidzom al Khilafah fii al Fikri al Islamiy, hal 3, Dar al Kutub al ‘Imiyah, Beirut, 2004
[4] Ali bin Muhammad bin Habib Al Bashri, lebih dikenal dengan sebuatan Al Mawardi,. Seorang imam besar di kalangan Madzhab Syafi’i. Lahir di Bashrah pada tahun 364 H dan wafat pada tahun 450 H, dimakamkan di Baghdad. Pernah menjadi hakim di beberapa wilayah. Karya beliau yang masih dibaca hingga hari ini antara lain: Al Ahkamus Sulthoniyyah, Adabud Dunya wad dini, dan dua kitab fiqh besar, Al Hawi dan Al Iqna’.
[5] Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthoniyyah wa Al wilayat Ad Diniyyah, tahqiq: Ahmad Abdus Salam, hal 9, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 2006
[6] Muhammad bin Husain Al Farraa’, Abu Ya’laa. Dalam madzhab Hambali, dikenal dengan sebutan Al Qodhi, karena diangkat sebagai hakim oleh Kholifah Al Qoim bi Amrillah. Lahir tahun 380 H dan wafat tahun 458 H di Baghdad.
[7] Abu Ya'la Muhammad bin Husain Al Farra', Al Ahkam As Sulthoniyah, tahqiq: Muhammad Hamid Al Faqiy, hal 25, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, 2000 (scanned)
[8] Abu Muhammad, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, lahir di Kordoba, Spanyol tahun 384 H. Tokoh madzhab dzahiri. Menghasilkan sekitar 400 karya tulis, antara lain Al Ihkam fii Ushulil Ahkam, Al Muhalla bil Atsar, Marotibul Ijma’, Al Fash fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, An Nasikh wal Mansukh, dll. Wafat tahun 456 H di Lablah, Spanyol.
[9]Ibnu Hazm, Al Muhallaa bi Al Atsar, Jld 9 hal. 360, tahqiq: M. Ahmad Syakir, Idarotul Maktabatil Muniriyah, 1348 H
[10] Ibnu Hazm, Marotib al Ijma’ fii al ‘Ibadat wa al Mu’amalat wa al Mu’taqodat . cet. III, hal. 144. Dar al Afaq al Jadidah, Beirut, 1982 (scanned)
[11] Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf, Muhyiddiin An Nawawi, berjuluk Syaikhul Islam. Pakar hadits dan ulama besar Madzhab Syafii. Lahir di desa Nawa, Hauran, Siria tahun 631 H. Wafat pada tahun 676 dan dimakamkan di desanya. Karyanya sampai sekarang masih tersebar di berbagai universitas, pesantren dan perpustakaan di seluruh dunia, antara lain Syarah Shohih MuslimAr RaudhohAl MinhajRiyadhus SholihinAl AdzkarAl Majmu’At Tibyan, dan kitab hadits kecil berisi 44 hadits yang sangat terkenal, Arba’uun An Nawawiyyah.
[12] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Jld VI, Hal. 474, tahqiq: 'Ishom As Shobabathi, Hazim Muhammad dan 'Imad 'amir, Darul Hadits, Kairo, 2001
[13] Abdur Rahman Al Jazairi, Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, Jld 5, hal 321-322, Darul Hadits, Kairo, 2003
[14] Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi An Nisaburi, pemilik Ash Shohih, kitab hadits paling mu’tabar setelah shohih Bukhori. Lahir di Nisabur tahun 204 H. Pergi mengumbulkan hadits, antara lain, ke Ray, Khurasan, Syam, Irak, Hijaz dan Mesir. Wafat di Nisabur 261 H.
[15] Lihat: Ath Thobary, Taarikhur Rusul wal Muluuk, Juz 3. Hal 218 dst. Darul Ma’arif, Mesir, tt (scanned)
[16] Lihat cakupan wilayah Negara Islam pada masa shohabat dalam kitab Ma’aatsirul Inaafah fii Ma’aalimil Khilaafah, jld I, karya Al Qolqosyandi (tahqiq Abdus Satar Ahmad Faroj, Aalam Al Kutub, Beirut, tt).
[17] Abul Ma’ali Al Juwaini, yakni Abdul Malik bin Abdullah dikenal dengan sebutan Dhiya’ud diin atau Imamul Haromain (Imam Dua Tanah Suci). Tokoh ahli kalam dan ahli ushul dari kalangan Asy ‘ariyah serta ahli fiqh madzhab Syafi’i. Lahir pada tahun 419 H di Nisabur. Bukunya sangat banyak, antara lain Al Irsyad dan Asy Syamil dalam Ushulud diin, Al Burhan yang merupakan salah satu dari tiga kitab ushul fiqh komperhensif paling klasik, Al WaroqotAn Nihayah fil fiqh, Ghiyatsul Umam, dll. Wafat di Nisabur pada tahun 478 H.
[18] Imam Al Haramain, Al Irsyad ilaa Qowaathi' Al Adillah fii Ushuul Al I'tiqood, tahqiq: Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abdul Mun'im Abdul Hamid, Maktabah Al Khonji, Mesir, 1950, hal. 425 (scanned)
[19] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, salah seorang mufassir. Lahir pada tahun 671 di Kordoba, Spanyol. Kitabnya yang terkenal antara lain Al Jami’ liAhkamil Qur’an, kitab tafsir benuansa fiqh yang terdiri dari 20 jld.
[20] Al Qurthubi, Al Jami’ liAhkam Al Qur’an, jld I, hal. 408, tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Muassasah Ar Risalah, Beirut, 2006 (scanned)
[21] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Jld VI, hal. 475
[22] Imam Al Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini, Ghiyaats al Umam fii Tiyaats adz Dzulam,Tahqiq: Dr. Musthofa Hilmi dan Dr. Fuad Abdul Mun’im,hal. 126, Daar Ad Da’wah, 1400 H (scanned)
[23] Rujukan sebelumnya, hal. 128
[24] Abu Manshur, Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad At Tamimi Al Baghdadi Al Isfarayini, seorang ahli ushul, tokoh islam di zamannya. Lahir di Baghdad tahun 429 H. Di antara karya beliau: ushulud diin, an Nasikh wal mansukhta’wilul Mutasyabihat fil akhbar wal ayat, dll.
[25] Abu Manshur Abdul Qohir Al Baghdadi, Ushul ad Diin, Mathba’ah Ad Daulah, Istambul, tt. Hal. 274 (scanned)
[26] Abu Ishaq Al Isfaroyini. Dikenal dengan sebutan Al Ustaadz. Namanya Ibrahim bin Muhammad, seorang ahli fiqh dan ushul yang dijuluki Ruknud Diin (pilar agama). Lahir di Asfaroyin pada pertengahan abad ke-3 H. Beliau punya kitab besar dalam aqidah berjudul Al Jami’ fii Ushulid diin war Radd ‘alal Mulhidiin. Wafat di Nisabur tahun 418 H.
[27] Al Qurthubi, Al Jami’ liAhkam Al Qur’an, jld I, hal. 408.
[28] Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 553 - 554. Daaru Thoyyibah, Riyad, tt (scanned)
[29] Al Qolqosyandi, Ma’aatsirul Inaafah fii Ma’aalimil Khilaafah, jld I, hal. 90 – 93, tahqiq: Abdus Satar Ahmad Faroj, Aalam Al Kutub, Beirut, tt. (scanned)
[30] Al Juwaini, op. cit., h. 129
[31]Ada pendapat yang mendukung banyaknya pemerintahan dengan alasan masing-masing bangsa dan daerah memiliki tabiat dan kebutuhan yang berbeda sehingga tiap bangsa dan daerah itu membutuhkan Negara tersendiri (Lihat: An Nadzoriyat As Siyasiyah Al Islamiyah, hal. 246 oleh Dr. Dhiya’uddiin Ar Rays). Ini adalah pendapat aneh yang menyalahi dalil-dalil syara’ sekaligus sejarah. Dalil-dalil syara’ jelas mewajibkan kesatuan kepemimpinan, sedangkan fakta pada zaman Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan setelahnya telah menunjukkan bahwa mereka bisa menyatukan umat yang terdiri dari berbagai bangsa ini dalam satu pemerintahan dengan sangat baik. Lantas dimana letak kebenaran dari pendapat tersebut?
[32] Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Hal. 563. Daru Thoyyibah, Riyad, tt
[33] Rujukan sebelumnya, hal. 552

Hakekat Bangsa Indonesia


Bangsa Indonesia

Benar-benar Alami ataukah Hasil Rekayasa?

Sebelum bicara soal asal-usul Bangsa Indonesia, sedikit kita singgung soal ide nasionalisme. Daniele Conversi mengatakan, “Nasionalisme mengasumsikan bahwa dunia secara alami terbagi-bagi menjadi entitas-entitas yang berbeda yang disebut bangsa, maka dari itu, nasionalisme merupakan suatu proses kategorisasi sosial, dalam menentukan mana yang tergolong “diri-sendiri” (self) dan mana yang tergolong “yang lain” (other)”[1]. Jika kita mengingat salah satu kalimat yang diikrarkan oleh beberapa gelintir orang pada Konges Pemuda ke-2 yang berbunyi “berbangsa satu Bangsa Indonesia”, maka sewaktu SD kita seolah tersihir, alam bawah sadar kita menerimanya identitas kebangsaan itu sebagai suatu hal yang benar dengan sendirinya (self-evidence), yang kontingen (tidak butuh alasan), yang alami. Kita yakin bahwa ke-Indonesia-an kita itu merupakan suatu hal yang datang dari sono-nya (given), suatu takdir politik yang tak perlu dipertanyakan apalagi digugat. Dan karenanya, kita harus setia kepada negara Indonesia, kesetiaan ini merupakan panggilan takdir politik kita sebagai bangsa. Inilah nasionalisme, yang oleh Ernest Gellner didefinisikan sebagai,prinsip politik yang pada intinya berpendirian bahwa unit politik dan unit kebangsaan haruslah kongruen. [2]

Asal-usul Bangsa Indonesia

Pernahkah kita coba mengkritisi alam fikiran kita, dan bertanya, bagaimanakah asal-usul bangsa indonesia ini? Atas dasar apa kita “diklasifikasikan” menjadi satu jenis manusia yang disebut bangsa Indonesia; dan atas dasar apa pula mereka –orang selain kita – diklasifikasikan menjadi bangsa yang lain, entah Malaysia atau pun Papua New Guinea?
Saat menelusuri asal-usul bangsa Indonesia, mungkin terbesit di pikiran anda, “oh itu karena kita berasal dari asal-usul dan etnisitas yang sama, yang berasal dari leluhur bangsa Indonesia“. Maka dengan mudah keraguan akan menggoyang fikiran anda itu. Sebab, jika sekilas saja anda melihat etnis-etnis yang ada, maka anda tidak akan yakin kalau -secara asal-usul- orang Riau lebih dekat dengan orang Papua dari pada dengan orang Malaysia. Kenyataannya, orang Riau dan Malaysia sama-sama orang Melayu sedangkan orang papua lebih dekat dengan bangsa Aborigin.
Mungkin anda akan beralih, “oh kita benar-benar sebangsa karena memiliki bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia“. Maka, keyakinan anda itu akan pudar ketika masuk ke pelosok-pelosok negeri dan menemukan penduduk asli dari kalangan kaum tua (yang tidak sekolah) yang kebanyakan dari mereka tidak mampu berbahasa Indonesia. Itu menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia bukan bahasa asli sebagaian besar suku-suku yang digolongkan ke dalam Bangsa indonesia. Bahasa Indonesia menjadi populer setelah menjadi bahasa resmi, bahasa pemerintahan, bahasa birokrasi, bahasa pendidikan, dan bahasa media masa terutama radio dan televisi. Jadi dengan pembuktian sederhana saja kita bisa mengetahui bahwa kesatuan bahasa kita justru muncul belakangan setelah Bangsa Indonesia dibuat dan diresmikan menjadi negara.
Tapi anda mungkin bisa lari ke alasan lain, “oh itu karena kita tinggal di wilayah yang sama, yakni wilayah yang disebut Indonesia“. Benar, wilayah kita dari Sabang sampai Merouke memang relatif berdekatan (berjajar). Tapi, apakah sebenarnya wilayah geografis yang disebut Indonesia itu? Apa saja yang menjadi batasan geografisnya yang alami? Justru kalau kita bicara soal kesatuan wilayah geografis, bukankah propinsi-propinsi di kalimantan lebih menyatu dengan Malaysia dan Brunei dari pada dengan Pulau Jawa? Bukankah tanah Papua lebih menyatu dengan Papua New Guinea dari pada dengan Sumatera? Bukankah Aceh lebih dekat dengan Malaysia daripada dengan Bali? Bukankah pulau-pulau di Utara Sulawesi lebih dekat dengan Filiphina dari pada dengan Jawa? Jadi, wilayah geografis alami yang disebut Indonesia itu sebenarnya tidak ada, karena secara geografis Kalimantan bersatu dengan Malaysia, NTT bersatu dengan Timor Leste, Papua bersatu dengan Papua New Guinea. Yang ada sebenarnya adalah wilayah politik, yakni wilayah yang tidak dicirikan dan dipagari oleh barier (pembatas) alam, melainkan bentangan yang dibatasi secara imajener, ditentukan oleh proses politik yang terjadi. Dengan demikian, argumentasi kesamaan wilayah geografis tampak masih meragukan dan membingungkan.
Mungkin anda akan mengatakan, “Kita adalah bangsa Indonesia karena kita memiliki kultur alias budaya yang sama, budaya Indonesia“. Alasan ini sangat jelas salahnya. Karena dalam kenyataannya, apa yang secara konvensional dan politis disebut sebagai Indonesia itu terdiri dari banyak suku dan masing-masing suku memiliki kultur yang sangat berbeda satu sama lain. Silahkan bandingkan kultur Aceh dengan kultur Bali, kultur Jawa dengan Kultur Dayak, kultur Toraja dengan Kultur Madura, kultur Melayu dengan kultur Papua, dst. Sangat luar biasa naif sekali jika ada yang mengatakan bahwa kultur-kultur itu saling berdekatan karena satu bangsa. Jadi masalah kultur juga tidak dapat menjelaskan kenapa kita disatukan menjadi satu bangsa.
Mungkin jurus terakhir yang bisa anda keluarkan adalah kesamaan kesejarahan. Tapi, masih ada keraguan yang akan menyergap anda. Sejarah itu panjang dan berubah-ubah. Sejarah periode mana yang bisa menjadi justifikasi kesatuan kebangsaan kita? Jika legitimasinya adalah soal sejarah, maka orang Ternate bisa punya alasan untuk menjadi bangsa sendiri, karena sejarah besar kerajaan mereka yang tak terlupakan. Begitu pula orang Jogja, mereka bisa mengklaim menjadi bangsa sendiri karena ingatan mereka tentang Kasultanan Ngayogyakarta yang masih sangat hangat. Tak heran, jika anda pergi ke Jogja pada tahun 2010/2011, anda akan menemukan spanduk-spanduk bernada tegas : “bergabung bukan berarti melebur“. Maksudnya, bergabung dengan Indonesia bukan berarti identitas kesejarahan mereka sebagai sebuah kasultanan harus dihilangkan sehingga dianggap sama dengan daerah lain. Ini menyangkut tuntutan sebagian besar masyarakat Jogja terhadap keistimewaan daerah mereka, yang sekarang menjadi bagian Indonesia karena keputusan politik Sri Sultan HB IX yang menggabungkan negara-kerajaannya ke dalam Negara Indonesia. Bahkan sebenarnya, kerajaan yang serupa dengan Ngayogyakarta itu bertebaran di mana-mana. Jika masing-masing ingin menjadikan sejarah sebagai alat untuk melegitimasi kedaulatan “bangsa”nya, maka Bangsa Indonesia pun hanya akan tinggal sejarah.
Namun, saya tidak memungkiri bahwa dalam kenyataannya sejarahlah yang telah membentuk Bangsa ini. Artinya dari apa yang terjadi dalam sejarahlah, terutama sejarah politik, kita bisa menemukan asal-usul bangsa Indonesia. Hanya saja, sejarah yang dimaksud adalah sejarah kolonialisme abad 19, bukan sejarah masa silam yang jauh. Yang namanya Indonesia bukanlah kesatuan berdasarkan etnis, budaya, bahasa, atau pun faktor geografis. Bukan pula berdasarkan sejarah yang jauh dari masa silam. Tapi, Indonesia adalah gabungan daerah-daerah dan pulau-pulau yang menjadi bekas jajahan Kerajaan Belanda di sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Tepatnya, Indonesia adalah bekas wilayah Hindia-Belanda. Asal-usul Bangsa Indonesia lahir dari perasaan senasib dalam penjajahan Belanda, yang memunculkan semangat untuk merdeka menjadi suatu “bangsa sendiri” yang bebas. Ini yang secara luas disebut dengan semangat pembebasan nasional (national liberation) sebagai mana dinyatakan oleh Hobsbawm[3].
Ini bisa menjelaskan kenapa wilayah Indonesia mencakup daerah-daerah yang disinggahi oleh beragam etnis dan secara geografis tidak menyatu, dengan pola yang tidak mengikuti barier alam yang ada, sehingga sulit disebut sebagai satu bangsa dalam kacamata seorang primordialis. Indonesia meliputi Sumatera, sebagian Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua Barat, dll. Itu karena semuanya merupakan wilayah Hindia-Belanda. Ini juga bisa menjelaskan kenapa wilayah yang menyatu atau berdekatan decara geografis justru tidak masuk wilayah Indonesia.  Kalimantan bagian utara tidak masuk wilayah Indonesia karena wilayah itu bukan jajahan Belanda, melainkan jajahan Inggris (meski pembagian itu membawa konsekuensi terpisahnya suku bangsa Melayu ke dalam dua bangsa yang berbeda). Papua bagian Timur tidak dianggap Indonesia, karena wilayah itu bukan jajahan Belanda, melainkan jajahan Portugis (sehingga bangsa di Papua juga terpisah menjadi dua karena penjajahan).
Inilah asal-usul bangsa Indonesia. Kebangsaindonesiaan kita ternyata bukan identitas yang givendari langit, bukan pula suatu identitas alami. KeIndonesiaan kita ternyata merupakan identitas artifisial (buatan), hasil rekayasa politik, warisan kolonial Belanda. Apa yang saya katakan itu sesuai dengan penelaahan  Anthony D. Smith, sosiolog yang konsen dalam studi tentang kebangsaan dan nasionalisme, bahwa indonesia merupakan salah satu bangsa yang karakter dan batas-batasnya ditentukan oleh negara kolonial[4].
Ada baiknya kita juga menyimak perkataan Benedict Anderson tentang asal-usul Bangsa Indonesia dalam karyanyaImagined Comunities. Dia mengatakan: “Kasus Indonesia memberikan gambaran kerumitan dari proses tersebut (pengaruh kolonialisme terhadap pembentukan negara-bangsa -pent) dengan cara yang mengesankan, bukan hanya karena ukurannya yang luas, populasinya yang besar (bahkan pada masa kolonial), fragmentasi geografis (sekitar 3.000 pulau), keragaman agama (Islam, Buda, Katolik, Protestan, Hindu dan animisme), dan juga perbedaan etno-linguistiknya (lebih dari 100 kelompok berbeda); lebih dari itu, sebagaimana ditunjukkan oleh namanya -yang merupakan campuran pseudo-hellenic- (maksudnya nama indo-nesia -pent), bentangannya sama-sekali tidak memiliki hubungan dengan faktor-faktor sebelum penjajahan; sebaliknya, tapal-tapal batasnya merupakan warisan dari penaklukan Belanda yang terakhir, paling tidak sebelum invasi brutal yang dilakukan oleh Jendral Soeharto ke bekas jajahan Portugis -Timor Timur“[5].
Dia juga mengungkapkan keganjilan yang menyeruak ketika mengamati hubungan antara penduduk Sumatera, Semenanjung Malaka dan Ambon. Dia mengatakan, “Sebagian penduduk di pesisir pantai timur Sumatera yang berseberangan dengan Semenanjung Malaka bukan hanya secara fisik dekat dengan masyarakat Pesisir Barat Semenanjung Malaka, tapi mereka juga punya hubungan etnis, dapat memahami bahasa satu dengan lainnya, dan seterusnya. Orang-orang Sumatera tidak memiliki kesamaan bahasa-ibu, etnisitas maupun agama dengan penduduk Ambon yang tinggal di sebuah pulau ribuan mil jaraknya ke arah timur. Namun selama kurang dari satu abad ini, mereka mulai menganggap orang-orang Ambon sebagai saudara se-Indonesia sedangkan orang Malaysia mereka anggap sebagai orang asing“.[6]
Dia juga mengatakan, “Presiden Soekarno selalu bicara dengan penuh keyakinan mengenai 350 tahun masa penjajahan yang diderita oleh “Indonesia”nya. Meskipun sebenarnya konsep “Indonesia” merupakan penemuan Abad ke-20. Dan sebagian besar wilayah yang sekarang disebut Indonesia itu baru ditaklukkan Belanda pada rentang waktu antara 1850 – 1910“.[7]
Jadi jelas, apa yang diklaim sebagai bangsa Indonesia sebenarnya merupakan fenomena modern, hasil kreasi-politik manusia. Batas-batasnya lebih ditentukan oleh jangkuan kolonial Belanda daripada ditentukan oleh keberadaan sebuah bangsa alami dalam kacamata primordialisme. Artinya, bangsa Indonesia sebenarnya tidak pernah ada sebelum berakhirnya penjajahan Belanda. Dari bekas wilayah Hindia-Belanda itulah belakangan berdiri  sebuah “bangsa” baru yang bernama Indonesia. Dengan demikian, asal-usul Bangsa Indonesia lekat kaitannya dengan eksistensi dan jangkauan pemerintah kolonial Belanda.
Kesimpulan. Terkait dengan ke-bangsaindonesia-an kita, dapat disimpulkan bahwa: Satu, apa yang sekarang disebut Bangsa Indonesia itu belum benar-benar ada sebelum penjajahan Belanda usai. Dua, kita digolongkan sebagai bangsa Indonesia karena kita tinggal di wilayah bekas jajahan Belanda. Tiga, orang yang tinggal di semenanjung Melayu dan Kalimantan bagian utara bukan saudara sebangsa kita karena wilayah yang mereka tinggali tidak dijajah Belanda, melainkan di wilayah yang dijajah oleh Inggris. Begitu pula orang Mindanau, bukan tergolong “kita” karena mereka dijajah Spanyol. Empat: Nasionalisme Indonesia adalah sesuatu hal yang direkayasa oleh gabungan dari gagasan manusia dan sejarah politik.
Jadi, kebangsaan kita ternyata suatu hal yang imaginer, diklaim berdasarkan suatu hal yang ilusif dan manipulatif. Jika demikian, apakah kita masih perlu mempertahankan faham kebangsaan (Nasionalisme) yang tidak lain hanyalah kebanggaan terhadap batas-batas wilayah administratif warisan kolonial itu? Fatalnya, klasifikasi imajiner dan ilusif ini seringkali membawa konsekuensi yang sangat penting, yakni tertanamnya persepsi “mana kita dan mana mereka”, “mana kawan dan mana lawan”. Tak heran, Malaysia dan Indonesia sering mengalami ketegangan karena masalah tapal batas dan rebutan kebudayaan. Padahal, keduanya mungkin tidak akan terpisah menjadi Malaysia dan Indonesia jika tanpa kedatangan penjajah Belanda dan Inggris. Jadi jelas, kebangsaan kita bukan suatu hal yang alami, tapi artifisial.
Seruan. Akhirnya, kami tawarkan ikatan yang lebih baik dan lebih konkret, bukan sekedar kesamaan riwayat penjajahan, tapi ikatan atas dasar kesamaan yang haqiqi, kesamaan aqidah (Islam), kesamaan Ilaah/sesembahan (Allah Ta’ala), kesamaan panutan (Muhammad saw), kesamaan dustur (Al Qur’an dan As Sunnah), kesamaan saudara (orang-orang yang beriman), kesamaan musuh (kekufuran dan kemaksiyatan), kesamaan misi hidup (mengabdi kepada Allah), kesamaan jalan hidup (syariah Islam), dan kesamaan cita-cita sejati (mencapai hidup yang diridhoi Allah, menggapai surga Allah). Inilah dasar dari persaudaraan sejati, ikatan tali (agama) Allah yang kokoh. Inilah “kita”, dan orang yang tidak memiliki kesamaan itu maka mereka adalah “mereka”. Alangkah indahnya jika “kita-kita” yang memiliki kesamaan dan persaudaraan sejati itu bersatu, terhimpun dalam satu kepemimpinan, terkumpul dalam satu Institusi: Khilafah Islamiyah, yang akan melindungi semua saudara, menghadapi semua musuh kita, dan menegakkan syariat Islam. Ya Allah, satukanlah hati kami, satukanlah kekuatan kami!
[Titok Priastomo, 28-29/12/11]

[1] Daniele Conversi, Reassessing Curren Theories of Nationalism: Nationalism as Boundary Maintenance and CreationJurnal Nationalism and Ethnic politicsVol.I, No.I (1995), hlm 81
[2] Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford: Basil Blackwell, 1983), hlm. 1
[3] Eric J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780: Programe, Myth, reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlmn. 136
[4] Anthony D. Smith, National Identity (London: Pinguin Books, 1991), hlmn. 106
[5] Benedict Anderson, Imagined Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism (London, New York: Verso, 1991),  hlmn. 120. Buku Anderson ini dicetak pertama kali tahun 1983, sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia, menjadi Timor Leste. Maka, dengan lepasnya Timor Timur, wilayah Indonesia benar-benar ditentukan oleh tapal batas penjajahan Belanda yang terakhir.
[6] Benedict Anderson, Imagined Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism (London, New York: Verso, 1991),  hlmn. 120-121
[7] Benedict Anderson, ibid, hlmn. 11 (catatan kaki nmr 4)

Islam: Spiritualitas yang Membumi


Islam: Spiritualitas yang Membumi[1]

"Umat Islam "mencari" Allah dalam sejarah. Kitab suci mereka, Al Quran, telah mengamanatkan kepada mereka sebuah misi historis. Tugas utama mereka adalah mewujudkan masyarakat adil di mana semua anggotanya, bahkan yang paling lemah dan rentan sekalipun, diperlakukan dengan penuh hormat. Pengalaman membangun serta hidup di dalam masyarakat seperti itu akan memberi mereka rasa kedekatan kepada Tuhan, karena dengan demikian mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah. Seorang Muslim harus membebaskan sejarah, dan itu berarti bahwa urusan negara bukan merupakan saingan dari spiritualitas, tetapi justru menjadi bagian dari agama itu sendiri. Tatanan Politik masyarakat muslim yang baik merupakan salah satu masalah yang paling penting".  [Karen Armstrong][2]

Spiritualitas Sekuler

Islam, suatu kata yang sering kita masukkan ke dalam kotak kategori agama, bersama dengan Yahudi, Kristen, hindu, budha dll. Sayangnya, taktala disebut kata agama, yang segera tersirat di dalam benak adalah sebuah ruang pertemuan yang sangat personal antara hamba dengan Tuhannya, yang sepi dari hiruk-pikuk kehidupan sosial. Ia adalah jembatan vertikal yang menghubungkan manusia dengan penciptanya, lepas dari hubungan horizontal dengan sesama manusia. Oleh karenanya, agama adalah suatu medan sakral, transenden, yang suci dari atmosfer kehidupan dunia dengan segala problematikanya yang remeh dan kotor. Agama adalah relung yang tenang, damai, hening dan kotemplatif[3] jauh dari hingar-bingar urusan ekonomi, hukum apalagi politik. Semakin total manusia larut dalam beragama, maka ia akan semakin condong ke kutub ruhani, semakin mendaki ke langit, semakin cenderung asketis[4], bahkan pada gilirannya menjadi monastik[5].
Itulah agama yang ada dalam benak kebanyakan orang saat ini, suatu bilik spiritual di salah satu sudut semesta kehidupan manusia, tempat dimana manusia mengasingkan diri dari kehidupan materi untuk bertemu dengan Sang Maha Pencipta.
Persepsi seperti di atas membuat agama selalu mengambang di awang-awang, tidak mendarat ke permukaan bumi untuk menyatu dengan dinamika kehidupan umat manusia. Agama yang lekat dengan urusan keakhiratan itu seolah menjadi antitesa dari kehidupan dunia. Sebagai hasilnya, urusan negara -yang erat kaitannya dengan politik dan kekuasaan- dianggap sebagai urusan remeh yang jauh terpisah dari lingkup agama; ekonomi dan bisnis yang terkait dengan masalah pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, perolehan harta, pengembangan kekayaan dan distribusinya juga tidak boleh mengotori wilayah agama; urusan hukum yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dan perselisihan mengenai berbagai urusan keduniaan juga dianggap tak layak dijamah oleh tangan agama yang bersih dan mulia itu.
Demikianlah, manusia hanya membawa serta agama ketika mereka hadir dalam dimensi spiritual –ruang yang mempertemukan mereka dengan Tuhan- yang termanifestasi dalam ajaran moral dan ritualitas. Agama tidak datang dalam urusan politik, ekonomi, hukum, sosial dan urusan keduniaan yang lain. Padahal, secara personal, seorang manusia mungkin bisa hidup tanpa menghiraukan urusan politik, namun secara kolektif umat manusia tidak mungkin bisa hidup harmonis di muka bumi ini tanpa tatanan politik. Seperti kata Ibnu Kholdun, manusia itu secara alami merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kepemimpinan.[6] Manusia secara kolektif juga tidak mungkin bisa hidup tanpa aktivitas dan tatanan ekonomi. Maka sebagai konsekuensi dari absennya agama dari aktivitas sosial, politik, hukum dan ekonomi adalah dijalankannya urusan-urusan tersebut tanpa panduan agama. Inilah yang kita sebut sebagai kehidupan sekuler, tatanan kehidupan dunia yang tidak dikaitkan dengan agama dan urusan keakhiratan.
Pangkal masalahnya terletak pada persepsi umum yang menganggap bahwa kebutuhan terhadap agama dan hubungan manusia dengan Tuhan merupakan bahan konsumsi jiwa (roh), sedangkan kebutuhan terhadap berbagai urusan duniawi merupakan santapan dari jasad/fisik manusia. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa sikap manusia dipengaruhi oleh dua unsur yang bersaing untuk mengendalikan arah kecenderungannya, yakni jiwa/roh sebagai unsur ruhani -di satu sisi- dan jasad/fisik sebagai unsur materi -di sisi yang lain-. Keduanya dianggap sebagai dua kekuatan yang menempati dua kutub yang berlawanan yang melahirkan kecenderungan berbeda. Kecenderungan yang mengarahkan orbit manusia kepada Tuhan -yang diwujudkan dalam penerapan nilai-nilai moral dan aktivitas ritual- dianggap lahir dari pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani), sedangkan kekuatan yang mengarahkan orbit manusia kepada dunia, berupa kesenangan fisik dan naluriah -seperti kecenderungan terhadap makanan, harta, seks[7], dan kekuasaan- dianggap sebagai suatu hal yang lahir dari pengaruh jasad (unsur materi). Tak heran, jika kemudian forum-forum keagamaan sering juga dinamakan dengan “bimbingan ruhani” atau “santapan ruhani”.
Sebagian pemuka agama mengajarkan bahwa unsur ruhani cenderung memberi pengaruh yang positif/terpuji, sebaliknya, unsur materi cenderung membawa pengaruh negatif/tercela, atau paling tidak, tidak semulia ruhani. Dari sinilah muncul paham asketisme, ajaran untuk menguatkan pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani) agar dapat mengalahkan dan mengendalikan pengaruh jasad melalui serangkaian pelatihan spritual. Muncul pula monastisisme, paham yang ingin berlepas diri secara total dari pengaruh dunia (materi) dan tenggelam sepenuhnya di dalam alam spiritual untuk melayani kepada Tuhan. Merekalah yang disebut kaum rohaniwan, seperti para pendeta, biksu, rahib dan sufi ekstrim. Inilah salah satu hal yang bertanggungjawab atas termarginalkannya agama dalam kehidupan nyata.

Spiritualitas dalam Islam: Spiritualitas yang membumi

Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Pararohaniwan cenderung memprimadonakan pemenuhan terhadap naluri yang terakhir, yakni naluri mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih besar dari manusia (gorizatut tadayyun) seraya menganggap pemenuhan terhadap naluri-naluri lain dan kebutuhan fisik manusia sebagai suatu hal yang rendah atau tidak semulia pemenuhan ghorizatud tadayyun. Kenapa demikian? Karena naluri ini memang sangat berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kehadiran Tuhan, sementara para rohaniwan ingin sepenuhnya berhubungan dengan Tuhan. Jangan-jangan inilah yang mereka anggap sebagai kekuatan ruhani. Padahal kenyataannya, aktivitas ritual yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar pemenuhan terhadap gejolak naluri  yang ada pada diri mereka, yakni ghorizatut tadayyun.
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong manusia untuk taat kepada Allah itu adalah roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya. Sebab jiwa/roh merupakan kekuatan suci dan positif yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.
Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah  unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh yang berarti kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil  prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara'. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara' laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara'. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara'.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka'bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara' atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Menilik hal itu, kekuatan ruhani dalam Islam bukanlah unsur yang berhadap-hadapan dengan aspek materi, keduanya bukan pula dua kutub yang saling tarik-menarik. Kita tidak perlu memenangkan salah satunya atau pun menyeimbangkan keduanya, karena keduanya bukan dua anak timbangan yang diletakkan pada dua lengan yang berlawanan. Yang perlu dilakukan hanyalah menjalani seluruh aktivitas dunia yang bersifat materiil ini dengan cahaya ruhani, yakni jiwa yang memiliki kesadaran akan hubungannya dengan Allah, yang selalu peka terhadap pengawasanNya, yang akan mendorong dilaksanakannya segala aktivitas selalu di atas hukum-hukum Allah.
Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia yang membawa konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang menghubungkan antara dunia dan akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya akan membawa dampak di akhirat. Dr. Abdul Qodir 'Audah menyatakan:
"hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki aspek ukhrowi. Maka aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian, perundang-undangan atau pun kenegaraan semuanya memiliki pengaruh yang dapat dirasakan di dunia ... akan tetapi, perbuatan yang memiliki pengaruh di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di akhirat, yaitu pahala dan sanksi akhirat".[8]
Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh -yang kenyataannya adalah kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini- harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun. Demikianlah cara orang-orang yang beriman untuk mentransendensikan seluruh aktivitas mereka di dunia dan "melayani" Allah dalam setiap urusan yang mereka kerjakan. Jadi, spiritualitas adalah dimensi kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah dalam menjalani kehidupan.
Lantas apa hubungan semua ini dengan khilafah? Jawabnya: spiritualitas alias kesadaran yang ada di dalam diri umat islam pasti mendorong mereka untuk menata kehidupan kemasyarakatan mereka dengan syariat Islam demi meraih ridho Allah. Padahal, kehidupan masyarakat itu tidak mungkin bisa sepenuhnya tertata dengan Islam kecuali di bawah naungan negara Islam yang menegakkan syariat Islam sebagai sistem yang mengatur berbagai urusan masyarakat. Itulah negara khilafah Islamiyah. Jadi khilafah merupakan ekspresi spiritualitas umat Islam dalam ranah politik dan pemerintahan.[] titok/ 15-16/6/12

[1] Pembahasan ini sangat terinspisari oleh ulasan mengenai ruh dalam kitab Nidzomul Islam dan Mafahim Hizbit Tahrir oleh An Nabhani
[2] Karen Armstrong, Islam: a Short History (New York: Modern Library, 2002 ), hal. xii
[3] Kontemplatif berasal dari Bahasa Latin (contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif merupakan cara hidup yang mengutamakan ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah.
[4] Asketisme ajaran yang menekankan kebijakan-kebijakan ruhani dengan jalan memenangkan jiwa atas raga
[5] Monastisisme faham yang mementingkan orientasi spiritual sampai pada taraf menjauhi dunia dan menenggelamkan hidup sepenuhnya kedalam alam ruhani, biasa dipraktekkan para rahib atau kaum shufi dalam islam
[6] Abdur Rahman bin Kholdun, Muqodimah Ibn Kholdun, cetakan IX (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2006) halaman 33
[7] Menurut Thomas Aquinas, perkawinan memang bukan dosa, tetapi sesuatu yang rendah.  Hubungan seksuil dengan wanita menyebabkan orang tidak dapat berbuat baik dengan sempurna.
[8] Abdul Qodir 'Audah, Al Islam baina Jahli Abna'ihi wa 'Ajzi 'Ulama'ihi (tt: al Itihad al Islami al 'Alami lil Munadhomat ath thulabiyah, 1985) hal.8
Makna spiritualitas dalam Islam arti spiritualitas dalam Islam kerohanian dalam islam spiritualitas Islam spiritualitas adalah