Kewajiban Bersatu Dalam Kepemimpinan Satu Orang Imam
“Islam menjadikan kaum muslimin sebagai umat yang satu, menghimpun mereka dalam satu negara, memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara dan umat yang satu tersebut, imam yang bertugas untuk menegakkan islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh islam”[1] (Al marhum Abdul Qodir Audah[2])
Muqoddimah
Sejak sebagian besar negeri-negeri muslim lepas dari penjajahan fisik, kaum muslimin mulai mencurahkan loyalitas mereka kepada entitas politik baru yang disebut dengan negara bangsa. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai melupakan ketentuan dalam agama mereka tetang kewajiban bersatu di bawah kepemimpinan seorang imam berikut sejarah negara mereka yang panjang. Bahkan, sebagian dari mereka sampai menyatakan bahwa ajakan bersatu dalam satu negara merupakan hal yang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Dr. Musthofa Hilmi berkata: “tampak nyata bahwa umat islam benar-benar telah melupakan pemahaman tentang khilafah sebagai sebuah sistem bagi negara yang berdiri guna menerapkan hukum Ilahiy, mewujudkan iklim sosial yang di dalamnya terwujud keadilan, meratakan keamanan, mewujudkan kemuliaan manusia, dan menyediakan metode kehidupan yang sesuai dengan syara’, karena sesungguhnya tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya sarana politik yang dapat mewujudkan kesatuan umat islam dan tolong-menolong antar anggotanya”[3]. Maka, tulisan ini mencoba mengingatkan kembali akan kewajiban tersebut, seraya menunjukkan bahwa kewajiban bersatu dalam satu pemerintahan bagi seluruh umat islam merupakan hal yang sangat dikenal oleh para ulama.
Pernyataan Para Ulama
Berikut ini adalah perkataan beberapa ulama mengenai wajibnya kesatuan imamah bagi kaum muslimin.
Al Imam Al Mawardi[4] berkata: “Apabila Imamah diakadkan kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda, maka imamah keduanya tidak teraqadkan, sebab umat tidak boleh memiliki dua orang imam dalam satu waktu, meskipun ada segolongan orang yang nyeleneh dan membolehkan hal itu”[5].
Al Imam Abu Ya'laa Al Farra'[6] berkata: “Tidak boleh ada aqad imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda pada satu waktu.”[7]
Al Imam Ibnu Hazm[8] berkata: “Tidak dihalalkan adanya imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”[9]. Bahkan di dalam Marotibul Ijma’, Ibnu Hazm menghitung masalah ini sebagai hal yang disepakati oleh para ulama, beliau berkata: “dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling berdamai atau pun bermusuhan, baik keduanya ditempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda[10]
Al Imam An Nawawi[11] berkata: “para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dilakukan aqad kepada dua orang kholifah pada satu waktu, baik wilayah Darul Islam itu meluas atau pun tidak”[12]
Asy Syaikh Abdur Rahman Al Jazairi menyatakan bahwa hal tersebut merupakan perkara yang disepakati oleh Empat Imam. Al Jazairi berkata: “Para imam -semoga Allah merahmati mereka- telah bersepakat bahwa Al Imamah itu wajib, sebab umat harus memiliki seorang pemimpin guna menegakkan syariat-syariat agama serta membela orang-orang yang terdzolimi dari kedzaliman orang-orang dzalim, dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu waktu, baik dua imam tersebut sepakat atau pun bermusuhan, …”[13].
Demikianlah, kewajiban bersatu dalam satu imamah serta keharaman pengangkatan dua orang imam atau lebih merupakan pendapat mayoritas ulama yang diperhitungkan oleh umat. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap masalah ini sebagai ijma’, tidak ada yang menyangkal kewajiban ini kecuali segelintir orang dari kelompok marginal yang tidak populer.
Dalil-dalil Jumhur Ulama
1. Dari As Sunnah
Ibnu Hazm dan An Nawawi menggunakan empat buah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[14] dalam shohihnya untuk menyatakan bahwa umat islam di seluruh dunia diharamkan memiliki dua orang imam dalam satu waktu.
Dari ‘Arfajah, bahwa dia mendengar Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَ أَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَ عَصَاكُمْ وَ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Barang siapa datang kepada kalian karena hendak mematahkan tongkat kalian dan memecah-belah jama’ah kalian, padahal urusan kalian bersatu pada seorang laki-laki, maka bunuhlah orang tersebut!”
Hadits ini mengungkapkan adanya perintah untuk membunuh orang yang hendak memecah kesatuan umat ketika mereka bersatu di bawah pemerintahan seorang pemimpin. Ini menunjukkan haramnya memecah kesatuan umat ke dalam dua pemerintahan atau lebih.
Abdullah bin Amr bin Al Ash ra. meriwayatkan hadits yang panjang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau bersabda:
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِهِ وَ ثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْبُوْا عُنُقَ الآخَرِ
“barang siapa membai’at seorang imam, maka hendaklah dia memberikan uluran tangan dan buah hatinya kepadanya, dan hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya, dan jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang lain tersebut!”
Khithob hadits ini tertuju kepada seluruh kaum muslimin tanpa batasan dan pengecualian. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa ketika umat islam sudah membai’at seorang imam, maka mereka tidak boleh membiarkan adanya imam yang lain.
Dari Abu Said Al Khudri ra. bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآ جَرَ مِنْهُمَا
“apabila dibai’at dua orang kholifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya!”
Hadits di atas juga berbentuk mutlak, tanpa batasan. Artinya, tidak boleh ada dua orang kholifah bagi umat islam di seluruh dunia.
Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ, كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌ خَلَفَهُ نَبِيٌ, وَإنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي, وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا? قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ, وَاَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَر عَاهُمْ
“Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat maka akan digantikan oleh seorang nabi yang lain. Namun tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada para kholifah yang banyak. Para shohabat berkata: lantas apa yang engkau perintahkan keapda kami? Nabi berkata: penuhilah baiat yang pertama, begitu seterusnya, dan berilah mereka hak-hak mereka, karena Allah akan menanyai apa yang menjadi tanggungjawab mereka”.
Hadits ini juga mutlak, memerintahkan seluruh umat islam untuk memenuhi satu bai’at saja, yaitu bai’at yang pertama.
2. Ijma’ Shohabat
Jumhur juga menyandarkan keharaman adanya dua pemimpin untuk seluruh umat islam di dunia dengan ijma’ shohabat. Setelah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, para shohabat sepakat untuk mengangkat seorang imam, dan menolak pendapat seorang anshor yang berkata: “bagi Qoraisy seorang amir dan bagi kita seorang amir juga”[15]. Abu Bakar ra. mengatakan “tidak dihalalkan kaum muslimin memiliki dua orang amir, betapapun baiknya hal itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum mereka akan mengalami perselisihan, jama’ah mereka akan terpecah belah, dan mereka akan saling memperebutkan kekuasaan, saat itulah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah membesar, sementara tidak ada seorang pun yang bisa memperbaikinya”. (diriwayatkan oleh Al Imam Al Baihaqi)
Hal ini diperkuat dengan kenyataan yang mereka praktekkan. Tatkala wilayah Islam pada masa para shohabat meluas sampai meliputi Jazirah Arab, Syam, Mesir dan Persia, (Saudi, Uni Emirat, Mesir, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, Kuwait, Irak, Iran, Palestina, Yordania, Siria, Lebanon dan Israel) mereka tetap mempertahankan kesatuan negara. Itulah ijma’ mereka mengenai kesatuan pemerintahan meskipun wilayah Negara Islam meluas ke banyak negeri[16].
Mendiskusikan Kutipan Dari Imam Al Haramain
Memang benar, ada ulama yang menyatakan bahwa bai’at atas dua orang imam itu dibolehkan. Yang paling banyak dikutip adalah ungkapan Imam Al Haromain[17]. Dalam Al Irsyad, beliau berkata “Para sahabat kami berpendapat mengenai adanya larangan penyerahan aqad imamah kepada dua orang di dua belahan dunia yang berbeda. Kemudian mereka berkata: seandainya ada orang-orang yang melakukan aqad penyerahan imamah kepada dua orang, maka akan sama seperti dua orang wali yang menikahkan seorang wanita kepada dua orang suami, di mana setiap pihak tidak mengetahui aqad yang dilakukan oleh pihak lain. Masalah dirinci dalam ilmu fiqh. Menurut saya, aqad imamah kepada dua orang dalam satu daerah dengan batas dan wilayah yang sempit itu tidak boleh, telah ada ijma' mengenai hal tersebut. Namun apabila ruang pemisahnya jauh, di antara kedua imam itu terbentang sekat yang lebar, maka peluang untuk itu ada, dan masalah ini tidak termasuk dalam perkara qoth'i.[18]
Lebih tegas, Al Imam Al Qurthubi[19] dalam tafsirnya menyatakan:”hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya larangan untuk mendirikan dua Imamah, sebab hal tersebut akan menghasilkan nifaq, pertentangan, perpecahan, lahirnya fitnah dan lenyapnya kenikmatan. Namun jika teradapat negeri yang saling berjauhan dan terpisah, seperti antara Khurosan dan Spanyol, maka hal itu dibolehkan”. Kemudian beliau mengutip pernyataan Al Juwaini di atas[20].
Hanya saja, An Nawawi mengomentari pernyataan Imam Al Haramain tersebut, “Al Mawarzi mengutip perkataan tersebut dari sebagian ulama ahli ushul generasi akhir, dan yang dia maksud adalah Imam Al Haramain. Pendapat tersebut merupakan pendapat rusak, menyalahi pendapat ulama salaf maupun kholaf, dan menyalahi kemutlakan dari ungkapan literal hadits-hadits yang ada[21].”
Namun, jika kita menelaah pendapat yang dikutip oleh Imam Al Haramain secara jujur, niscaya akan kita temukan bahwa pendapat tersebut tidak menyatakan kebolehan banyak imam secara mutlak. Kebolehan itu diikat dengan adanya wilayah yang jauh terpisah dari pusat pemerintahan Islam, sehingga tidak bisa disatukan di bawah satu pemerintahan. Namun, jika penyatuan itu masih dimungkinkan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk bersatu di bawah pemerintahan seorang imam atau kholifah. Dalam kitab Ghiyatsul Umam, Imam Al HAramain menyatakan: ” Apabila pengankatan satu orang imam yang perhatiannya dapat meliputi seluruh batas wilayah Islam, pengaruhnya dapat mencakup segenap rakyat dalam seluruh tingkatan yang ada, baik di belahan bumi bagian timur maupun bagian barat, dapat dilakukan dengan mudah, maka pengangkatan dua imam -dalam kondisi seperti ini- tidak dibolehkan. Ini merupakan perkara yang disepakati, tidak ditemukan perbedaan pendapat dalam hal ini.”[22].
Kemudian beliau memaparkan pentingnya menjaga kesatuan yang telah disepakati, lalu menyatakan: “Adapun perkara yang menjadi objek perselisihan berbagai madzhab adalah kondisi di mana pandangan seorang imam tidak mampu meliputi seluruh daerah kekuasaan. Hal yang demikian itu bisa tergambar karena beberapa sebab yang tidak samar, antara lain: meluasnya wilayah, tersebarnya islam ke berbagai negeri yang saling berjauhan, adanya pulau-pulau di seberang lautan, adanya manusia menempati bagian dunia yang tidak terjangkau oleh perhatian imam, dan –kadangkala- wilayah darul kufur menyisip di antara (memisahkan) wilayah Islam sehingga hal itu menyebabkan perhatian imam tidak menjangkau kaum muslimin yang ada di baliknya... Setelah menyepakati perkara yang telah kami sebutkan sebelumnya, pada kondisi ini, sebagian orang beralih pada pendapat yang membolehkan pengangkatan seorang imam di negeri yang tidak dijangkau oleh pengaruh perhatian imam. Pendapat ini dinisbatkan kepada Syaikh kami Abul Hasan (Al Asy’ari -pent) dan Ustadz Abu Ishaq Al Isfaroyini -ra- dan selain keduanya.”.[23]
Apa yang dinukil oleh Al Juwaini dari pendahulunya ini tidak berbeda jauh dengan perkataan Al Imam Abdul Qohir Al Baghdadi[24] di dalam Ushulud Diin, beliau menyatakan: “para sahabat kami menyatakan bahwa tidak boleh ada dua imam yang wajib ditaati di dalam satu waktu. Pemegang jabatan Imamah itu hanya satu, sedangkan yang lain ada di bawah benderanya. Jika ada pihak yang keluar dari pemerintahannya tanpa alasan, maka orang yang keluar itu wajib dilengserkan, mereka dianggap bughot. Dikecualikan bagi dua negeri (yang terpisah -pent) sehingga sampainya pertolongan penduduk negeri yang satu kepada penduduk negeri yang lain terhalang, maka dalam keadaan demikian dibolehkan bagi dari kedua negeri itu untuk mengangkat imam bagi penduduknya”[25]. Al Qurthubi mengatakan: “Al Ustadz Abu Ishaq[26] membolehkannya pada dua daerah yang saling terpisah dengan ruang pemisah yang sangat jauh, sebab jika tidak ada imam niscaya terjadi penelantaran hak-hak masyarakat dan hukum-hukumnya”[27].
Jelas melalui apa yang diungkapkan oleh Al Juwaini, Al Isfaroyini, Al Baghdadi dan Al Qurthubi, bahwa pada asalnya kesatuan pemerintahan itu wajib. Bolehnya lebih dari satu imam menurut mereka hanya karena ada kondisi darurat yang menghalangi penyatuan tersebut. Menurut Al Juwaini, yang menghalangi adalah tidak sampainya pemeliharaan negara ke wilayah yang terpisah jauh dari pusat pemerintahan islam. Sedangkan menurut Al Baghdadi, suatu wilayah yang tidak terjangkau oleh pertolongan penduduk wilayah lain maka wilayah itu boleh mengangkat pemimpinnya sendiri. Secara lebih gamblang, Abu Ishaq Al Isfaroyini –sebagaimana dikutip oleh Al Qurthubi- menjelaskan alasannya, yaitu agar kemaslahatan umat dan hukum-hukum syara’ tidak terlantar karena tidak adanya pemerintah.
Atas dasar itu, bisa kita katakan bahwa menurut mereka pengangkatan dua orang imam itu asalnya tidak boleh. Kalau pun boleh itu hanyalah keringanan akibat situasi darurat, sehingga hukum asal tidak bisa diberlakukan. Faktor yang menimbulkan situasi darurat di sini adalah tidak adanya daya jangkau kholifah kepada suatu wilayah yang terpisah, seperti dipisahan oleh lautan atau di balik darul kufur. Maka, jika faktor penghalang ini bisa diatasi, tentu saja keadaan darurat itu menjadi hilang. Jika keadaan darurat hilang, maka keringananpun juga hilang, dan hukum asal pun akan berlaku kembali.
Kesimpulan di atas senada dengan apa yang diungkap oleh penulis kitab Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahli as Sunnah wa al Jama’ah. Sang penulis menyatakan: ”… menelaah pandangan ulama yang membolehkan (lebih dari satu imam) karena perluasan wilayah, terlihat bahwa penyebabnya tidak lain karena adanya keadaan darurat, sementara kesatuan Imamah tetap merupakan hukum asal. Artinya, kebolehan banyak imam itu sekedar pengecualian akibat adanya kondisi darurat, lalu membuatnya menjadi boleh. Namun, keadaan darurat itu hanya diberlakukan sebatas kadarnya, apabila keadaan darurat tersebut hilang, maka hilang pulalah hukumnya, sehingga masalahnya harus kembali kepada hukum asal”[28].
Mengatasi Masalah Jarak
Status darurat yang disebutkan oleh Al Juwaini dari pendahulunya, berupa masalah jarak, pada masa ini sangat mungkin untuk dihinlangkan. Mengenai bagaimana agar kebijakan pemerintah dapat menjangkau wilayah yang jauh, bisa diatasi tanpa menciptakan banyak pemerintahan yang otonom. Sebab, kholifah bisa menempatkan para wali atau gubernur di wilayah-wilayah tersebut guna mewakilinya untuk melakukan pemeliharaan urusan rakyat tanpa menyandang jabatan sebagai imam atau kholifah. Hal tersebut telah dipraktekan oleh para kholifah sejak masa-masa awal. Seperti itulah Umar bin Khoththob ra. menjaga integritas wilayah Negara Islam yang beliau pimpin, yang meliputi seluruh Jazirah Arab, Iraq –dengan Abu Musa sebagai wali di Kufah dan Al Mughirah sebagai wali di Bashrah, Mesir –dengan Amr bin Al Ash sebagai gubernurnya- dan Syam –dengan Mu’awiyyah sebagai gubernurnya[29]. Komunikasi antara Madinah dan Bashrah, misalnya, dilakukan dengan kuda selama beberapa pekan. Tapi kholifah tetap memimpin wilayah itu melalui gubernurnya tanpa memecah pemerintahan.
Solusi tersebutlah yang dipilih oleh Imam Al Haramain untuk wilayah yang jauh terpisah dari pusat pemerintahan. Beliau menyatakan, "Dalam hal ini aku (Imam Al Haromain) berpendapat, dengan minta pertolongan kepada Allah: jika sebelumnya telah ada akad imamah kepada orang yang layak, dan kita memandang dia memegang akad memiliki otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) yang berlaku di seluruh wilayah, kemudian terdapat atau muncul secara tiba-tiba perkara yang menghalangi perhatiannya, maka tidak ada alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam. Akan tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang pemimpin (amir), agar mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam segala yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Dan kedudukan tersebut bukanlah jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang tersebut telah hilang, dan perhatian imam sudah mampu menjangkau mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam seraya menyampaikan salam kepadanya. Sedangkan imam menerima udzur mereka kemudian mengurusi kepentingan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan mereka itu) tetap berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya penggantian amir, maka pendapatnya diikuti, dan kepadanyalah (kaum muslimin) merujuk"[30].
Perhatikan bagaimana Imam Al-Haramain menyebut pemimpin di daerah yang tidak terjangkau oleh pusat pemerintahan islam itu dengan sebutan amir, beliau tidak menganggapnya sebagai imam. Karena, menurut beliau, tidak boleh ada dua orang di dunia ini yang menyandang jabatan imam a'dhom. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau tidak sepakat dengan pendapat yang dinisbatkan kepada Al-Asy'ari dan Abu Ishaq tentang kebolehan mengangkat dua imam di dua wilayah yang terpisah jauh.
Di samping solusi di atas, kecanggihan alat transportasi dan komunikasi canggih saat ini, tentu membuat masalah jarak menjadi tidak relevan lagi untuk dipermasalahkan, sebab dengan sarana yang ada, masalah jarak sudah bukan hambatan lagi. Dengan demikian, mengutip pendapat Al Asy'ari dan yang lainnnya untuk menolak kewajiban bersatu di bawah satu pemerintahan islam pada era modern ini adalah suatu hal yang ketinggalan zaman, apalagi untuk daerah yang saling berdekatan seperti Jazirah Arab, tanah Syam, Irak dan Mesir.
Dalam Kitab Al Imamah Al ‘Udzma dinyatakan: “Sesungguhnya dakwaan bahwa banyaknya pemimpin dapat memudahkan fungsi pengelolaan dan pencapaian kemaslahatan bagi rakyat adalah tidak tepat[31], terlebih lagi untuk zaman kita sekarang ini dengan adanya kemajuan yang sangat pesat dan menakjubkan dalam bidang sarana transportasi dan komunikasi. Itu semua tidak lagi menyisakan ruang keraguan mengenai kemungkinan untuk mewujudkan integritas dan pengelolaan wilayah dengan cara yang mudah. Dengan demikian, adalah mungkin untuk menyerahkan tugas dan mendelegasikan pemeliharaan urusan umat di setiap daerah kepada para gubernur (wali) yang mewakili”… “masalah kesatuan pemerintahan islam telah dapat diwujudkan dan dipertahankan secara nyata pada masa-masa awal, meskipun wilayah kekuasaan islam terus meluas dan dengan sarana transportasi serta komunikasi yang minim pada zaman tersebut. Bersamaan dengan itu, lembaran-lembaran sejarah telah menuliskan dengan jelas bagaimana umat ini memiliki kekuatan dan manajemen yang baik. Tentu saja hal tersebut lebih mungkin untuk diwujudkan pada masa sekarang dengan berbagai kemudahan yang ada. Maka dari itu, pada masa sekarang, orang-orang yang menjadikan keadaan darurat sebagai alasan tidak lagi memiliki hujah”[32].
Seandainya Imam Al-Asy'ari, Abu Ishaq, Al-Baghdadi, Al-Qurthubi dan yang lainya melihat sarana transportasi dan komunikasi yang ada sekarang, niscaya mereka tidak akan menjadikan jarak sebagai kendala. Dengan ini, kita bisa melihat bahwa mereka tidaklah bisa digolongankan ke dalam kelompok yang mendukung adanya banyak negara bangsa seperti sekarang. Mereka tetap tergolong kelompok jumhur yang mewajibkan kesatuan pemerintahan[33], sebagaimana Al Mawardi, Al Farra, Ibnu Hazm dan An Nawawi.
Penutup
Adanya kewajiban bagi umat islam di seluruh dunia untuk bersatu di bawah satu pemerintahan dan haramnya mengangkat dua imam atau lebih merupakan pendapat jumhur umat islam yang didasarkan pada dalil-dalil syara’ yang kuat. Di samping itu, fakta kesatuan pemerintahan tersebut pernah terwujud dalam sejarah islam yang panjang. Negara Islam pernah menyatukan wilayah yang sangat luas, terbentang dari Maroko -di belahan barat- sampai India -di belahan timur-. Dengan kesatuan inilah umat islam mengalami zaman keemasannya, meraih reputasi sebagai umat yang solid dan tak terkalahkan. Semoga Allah menganugerahkan kesatuan itu kembali melalui Negara Khilafah yang akan segera tegak melalui pertolonganNya. Aamiin … [~titok~]
Mrisi, 26 Juli 2010
[1] Dr. Abdul Qodir Audah, Al Islam wa Audho’unaa As Siyaasiyyah, hal. 278, Muassasah Ar Risalah, 1981
[2] Seorang ulama dari gerakan Ikhwanul Muslimin, Mesir. Penulis buku “At Tasyri’ al Jina’i fi al Islam.
[3] Dr. Musthofa Hilmi, Nidzom al Khilafah fii al Fikri al Islamiy, hal 3, Dar al Kutub al ‘Imiyah, Beirut, 2004
[4] Ali bin Muhammad bin Habib Al Bashri, lebih dikenal dengan sebuatan Al Mawardi,. Seorang imam besar di kalangan Madzhab Syafi’i. Lahir di Bashrah pada tahun 364 H dan wafat pada tahun 450 H, dimakamkan di Baghdad. Pernah menjadi hakim di beberapa wilayah. Karya beliau yang masih dibaca hingga hari ini antara lain: Al Ahkamus Sulthoniyyah, Adabud Dunya wad dini, dan dua kitab fiqh besar, Al Hawi dan Al Iqna’.
[5] Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthoniyyah wa Al wilayat Ad Diniyyah, tahqiq: Ahmad Abdus Salam, hal 9, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 2006
[6] Muhammad bin Husain Al Farraa’, Abu Ya’laa. Dalam madzhab Hambali, dikenal dengan sebutan Al Qodhi, karena diangkat sebagai hakim oleh Kholifah Al Qoim bi Amrillah. Lahir tahun 380 H dan wafat tahun 458 H di Baghdad.
[7] Abu Ya'la Muhammad bin Husain Al Farra', Al Ahkam As Sulthoniyah, tahqiq: Muhammad Hamid Al Faqiy, hal 25, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, 2000 (scanned)
[8] Abu Muhammad, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, lahir di Kordoba, Spanyol tahun 384 H. Tokoh madzhab dzahiri. Menghasilkan sekitar 400 karya tulis, antara lain Al Ihkam fii Ushulil Ahkam, Al Muhalla bil Atsar, Marotibul Ijma’, Al Fash fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, An Nasikh wal Mansukh, dll. Wafat tahun 456 H di Lablah, Spanyol.
[9]Ibnu Hazm, Al Muhallaa bi Al Atsar, Jld 9 hal. 360, tahqiq: M. Ahmad Syakir, Idarotul Maktabatil Muniriyah, 1348 H
[10] Ibnu Hazm, Marotib al Ijma’ fii al ‘Ibadat wa al Mu’amalat wa al Mu’taqodat . cet. III, hal. 144. Dar al Afaq al Jadidah, Beirut, 1982 (scanned)
[11] Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf, Muhyiddiin An Nawawi, berjuluk Syaikhul Islam. Pakar hadits dan ulama besar Madzhab Syafii. Lahir di desa Nawa, Hauran, Siria tahun 631 H. Wafat pada tahun 676 dan dimakamkan di desanya. Karyanya sampai sekarang masih tersebar di berbagai universitas, pesantren dan perpustakaan di seluruh dunia, antara lain Syarah Shohih Muslim, Ar Raudhoh, Al Minhaj, Riyadhus Sholihin, Al Adzkar, Al Majmu’, At Tibyan, dan kitab hadits kecil berisi 44 hadits yang sangat terkenal, Arba’uun An Nawawiyyah.
[12] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Jld VI, Hal. 474, tahqiq: 'Ishom As Shobabathi, Hazim Muhammad dan 'Imad 'amir, Darul Hadits, Kairo, 2001
[13] Abdur Rahman Al Jazairi, Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, Jld 5, hal 321-322, Darul Hadits, Kairo, 2003
[14] Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi An Nisaburi, pemilik Ash Shohih, kitab hadits paling mu’tabar setelah shohih Bukhori. Lahir di Nisabur tahun 204 H. Pergi mengumbulkan hadits, antara lain, ke Ray, Khurasan, Syam, Irak, Hijaz dan Mesir. Wafat di Nisabur 261 H.
[15] Lihat: Ath Thobary, Taarikhur Rusul wal Muluuk, Juz 3. Hal 218 dst. Darul Ma’arif, Mesir, tt (scanned)
[16] Lihat cakupan wilayah Negara Islam pada masa shohabat dalam kitab Ma’aatsirul Inaafah fii Ma’aalimil Khilaafah, jld I, karya Al Qolqosyandi (tahqiq Abdus Satar Ahmad Faroj, Aalam Al Kutub, Beirut, tt).
[17] Abul Ma’ali Al Juwaini, yakni Abdul Malik bin Abdullah dikenal dengan sebutan Dhiya’ud diin atau Imamul Haromain (Imam Dua Tanah Suci). Tokoh ahli kalam dan ahli ushul dari kalangan Asy ‘ariyah serta ahli fiqh madzhab Syafi’i. Lahir pada tahun 419 H di Nisabur. Bukunya sangat banyak, antara lain Al Irsyad dan Asy Syamil dalam Ushulud diin, Al Burhan yang merupakan salah satu dari tiga kitab ushul fiqh komperhensif paling klasik, Al Waroqot, An Nihayah fil fiqh, Ghiyatsul Umam, dll. Wafat di Nisabur pada tahun 478 H.
[18] Imam Al Haramain, Al Irsyad ilaa Qowaathi' Al Adillah fii Ushuul Al I'tiqood, tahqiq: Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abdul Mun'im Abdul Hamid, Maktabah Al Khonji, Mesir, 1950, hal. 425 (scanned)
[19] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, salah seorang mufassir. Lahir pada tahun 671 di Kordoba, Spanyol. Kitabnya yang terkenal antara lain Al Jami’ liAhkamil Qur’an, kitab tafsir benuansa fiqh yang terdiri dari 20 jld.
[20] Al Qurthubi, Al Jami’ liAhkam Al Qur’an, jld I, hal. 408, tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Muassasah Ar Risalah, Beirut, 2006 (scanned)
[21] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Jld VI, hal. 475
[22] Imam Al Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini, Ghiyaats al Umam fii Tiyaats adz Dzulam,Tahqiq: Dr. Musthofa Hilmi dan Dr. Fuad Abdul Mun’im,hal. 126, Daar Ad Da’wah, 1400 H (scanned)
[23] Rujukan sebelumnya, hal. 128
[24] Abu Manshur, Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad At Tamimi Al Baghdadi Al Isfarayini, seorang ahli ushul, tokoh islam di zamannya. Lahir di Baghdad tahun 429 H. Di antara karya beliau: ushulud diin, an Nasikh wal mansukh, ta’wilul Mutasyabihat fil akhbar wal ayat, dll.
[25] Abu Manshur Abdul Qohir Al Baghdadi, Ushul ad Diin, Mathba’ah Ad Daulah, Istambul, tt. Hal. 274 (scanned)
[26] Abu Ishaq Al Isfaroyini. Dikenal dengan sebutan Al Ustaadz. Namanya Ibrahim bin Muhammad, seorang ahli fiqh dan ushul yang dijuluki Ruknud Diin (pilar agama). Lahir di Asfaroyin pada pertengahan abad ke-3 H. Beliau punya kitab besar dalam aqidah berjudul Al Jami’ fii Ushulid diin war Radd ‘alal Mulhidiin. Wafat di Nisabur tahun 418 H.
[27] Al Qurthubi, Al Jami’ liAhkam Al Qur’an, jld I, hal. 408.
[28] Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 553 - 554. Daaru Thoyyibah, Riyad, tt (scanned)
[29] Al Qolqosyandi, Ma’aatsirul Inaafah fii Ma’aalimil Khilaafah, jld I, hal. 90 – 93, tahqiq: Abdus Satar Ahmad Faroj, Aalam Al Kutub, Beirut, tt. (scanned)
[30] Al Juwaini, op. cit., h. 129
[31]Ada pendapat yang mendukung banyaknya pemerintahan dengan alasan masing-masing bangsa dan daerah memiliki tabiat dan kebutuhan yang berbeda sehingga tiap bangsa dan daerah itu membutuhkan Negara tersendiri (Lihat: An Nadzoriyat As Siyasiyah Al Islamiyah, hal. 246 oleh Dr. Dhiya’uddiin Ar Rays). Ini adalah pendapat aneh yang menyalahi dalil-dalil syara’ sekaligus sejarah. Dalil-dalil syara’ jelas mewajibkan kesatuan kepemimpinan, sedangkan fakta pada zaman Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan setelahnya telah menunjukkan bahwa mereka bisa menyatukan umat yang terdiri dari berbagai bangsa ini dalam satu pemerintahan dengan sangat baik. Lantas dimana letak kebenaran dari pendapat tersebut?
[32] Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Udzma ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Hal. 563. Daru Thoyyibah, Riyad, tt
[33] Rujukan sebelumnya, hal. 552
0 komentar:
Posting Komentar