Minggu, 06 Januari 2013

Syariat Islam Sempurna dan Menyeluruh


Syariat Islam Sempurna dan Menyeluruh

Bagaimana jika ada orang yang mengatakan: “kita tidak dilarang menggunakan hukum buatan manusia dalam suatu masalah jika Allah tidak menurunkan hukum dalam masalah tersebut, misalnya hukum lalu-lintas, sebab Allah hanya berfirman (artinya) “barang siapa tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang kafir” Allah tidak berfirman “barang siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah maka mereka itu orang-orang kafir”. Maka, manusia boleh membuat hukum dalam perkara-perkaran yang tidak diatur oleh hukum Allah. Komentar atas pendapat ini ada dalam Al Waie (Arab) no.5 berikut ini:

Tidak Ada Satu Perkara pun Yang Tidak Ada Hukumnya Dalam Syariat Kita[1]

Di Lebanon, telah terbit sebuah kitab kecil berjudul "Jahaalaatun Khothiirotun fii Qodhooyaa I'tiqoodiyyatin Katsiirotin" (Kebodohan yang tidak boleh disepelekan dalam perkara-perkara aqidah), buah pena Dr. 'Ashim bin Abdullah Al Qoryuti. Secara umum, ia merupakan buku yang bagus. Hanya saja, pada bagian tertentu buku ini masih membutuhkan pencermatan. Kali ini kita akan memfokuskan perhatian pada salah satu point yang ada di halaman 10, di sana tertulis:
"Adapun apabila masalahnya didiamkan oleh syariat kita dan tidak dijelaskan kehalalan ataupun keharamannya, maka dibolehkan bagi pemerintah untuk melegalisasi hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang wajib ditaati oleh masyarakat, ketika di dalamnya memang terdapat kemashlahatan umum. Di antara contohnya adalah pengaturan arus lalu-lintas dengan ketentuan tertentu, dan yang serupa dengan hal tersebut, hal ini tidak dianggap sebagai kesyirikan kepada Allah 'Azza wa Jalla, sebab Allah hanya berfirman  وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ  (dan barangsiapa tidak berhukum kepada apa yang telah diturunkan oleh Allah ), Dia tidak berfirman : «ومن حكم بغير ما أنزل الله...» (dan barang siapa berhukum bukan dengan apa yang diturunkan oleh Allah), sementara perbedaan antara keduanya telah dikemukakan di depan. Banyak penulis yang berbicara dalam tema ini tidak memahami perbedaan tersebut berikut urgensinya, oleh karena itu saya ingin memberi peringatan”.[2]
Mengenai perkataan penulis bahwa "apabila masalahnya didiamkan oleh syariat kita dan tidak dijelaskan kehalalan ataupun keharamannya", ini merupakan perkataan yang salah, sebab, tidak terdapat satu benda maupun satu perbuatan pun di dalam agama kita yang tidak dijelaskan hukumnya oleh syariat. Allah berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الإِسْلاَمَ دِينًا
(pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan aku sempurnakan nikmatku, dan aku ridho islam sebagai agama bagi kalian).
Penjelasan hukum tersebut kadangkala terungkap secara eksplisit dengan menyebut nama sesuatu sekaligus hukumnya, seperti pengharaman bangkai, darah, dan daging babi. Namun kadangkala penjelasan itu termaktub dalam ketentuan yang bersifat general, seperti :
{ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا }
(Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi dan di langit bagi kalian)
dengan ini, segala sesuatu yang ada di bumi ini tercakup di bawah cakupan keumuman nash ini, bahwa semua itu mubah kecuali jika terdapat nash-nash lain yang melakukan pengecualian. Dalam kasus lain, penjelasan datang bentuk illat (alasan pensyariatan hukum), sehingga di mana saja illat itu ditemukan, hukum akan berlaku di sana melalui mekanisme qiyas.
Mereka yang menyatakan bahwa syariat kita tidak mencakup sebagian perkara, sadar atau tidak, telah menyatakan bahwa Syariat memiliki kekuarangan. Pernyataan ini jelas absurd. Dalam kenyataan, terkadang seorang mujtahid menggali hukum untuk suatu masalah dan berhasil menemukannya, namun di lain kesempatan dia tidak berhasil menemukan hukum untuk masalah yang lain. Apabila pandangan seorang mujtahid terbatas dan dia tidak memperoleh petujuk untuk memahami hukum syara' atas perkara yang dia teliti, maka dia –dan juga siapa pun- tidak berhak untuk menyatakan bahwa masalah tersebut tidak ada hukumnya atau bahwa syariah tidak membahasnya. Yang seharusnya dia lakukan adalah menelaah permasalahan itu sekali lagi, atau menyerahkan urusan itu kepada orang yang lebih pandai darinya { وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ } (dan di atas setiap yang berilmu itu masih ada Yang Maha Mengetahui).
Sekelompok pakar ushul fiqh ketika menjelaskan masalah ini berpegang kepada pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, sementara hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara', dan bahwasannya tidak terdapat suatu perbuatan pun kecuali terdapat hukum yang berlaku atas perbuatan tersebut, baik perbuatan itu disebut namanya maupun sifatnya secara jelas, atau tercakup dalam keumuman nash, atau mengandung tanda (illat) yang dapat diambil hukumnya melalui qiyas. Berdasarkan pendapat sekelompok pakar ushul fiqh ini dipercayai bahwa tidak ada satu benda atau perbuatan pun kecuali syara' telah membeberkan hukumnya.
Sementara sebagaian pakar ushul fiqh yang lain berkata: Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh syara' adalah pemaafan (berarti semacam kebolehan). Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam : "halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam KitabNya, sedangkan apa yang didiamkan merupakan hal-hal yang dimaafkan bagi kalian". juga sabda beliau shollallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang lain: "dan diam terhadap berbagai sesuatu sebagai rahmat bagi kalian, bukan sebagai kealpaan, maka janganlah kalian mengutak-atiknya", kemudian membaca { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }  (dan tidaklah Tuhanmu dalam keadaan lupa), maka berdasarkan pendapat kelompok ini dipercayai bahwa tidak ada sesuatu pun yang dilalaikan oleh syara' atau syara' tidak menjelaskannya. Apa saja yang sudah dijelaskan oleh syariat berarti telah jelas hukumnya, sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan secara eksplisit berarti tercakup di dalam ketentuan umum dalam syariat, bahwa dia merupakan hal yang dimaafkan.
Dengan ini tidak tersisa argumen sedikitpun bagi mereka yang menyatakan bahwa syariat telah mengabaikan sebagian masalah dengan tidak menjelaskan status kehalalan atau keharamannya, atau dengan kata lain, syariah telah menyisakan wilayah kosong yang kemudian bisa diisi oleh hukum yang dibuat oleh penguasa. kekaburan yang ada pada diri mereka adalah pandangan mengenai masalah mubah atau hal yang dimaafkan, mereka menganggapnya sebagai perkara yang lowong atau perkara yang tidak dihiraukan oleh syariat.
Komentar Kedua:
Penulis menganggap aturan-aturan lalu-lintas sebagai perkara yang tidak dipaparkan kehalalan dan keharamannya oleh syariah, maka kami katakan kepada beliau: sebenarnya tidak demikian, justru syariat telah menjelaskan kehalalannya. Pasalnya, telah diketahui bersama bahwa berjalan di jalan raya merupakan perkara yang mubah, sedangkan jalan tergolong tempat umum. Syara' membolehkan pemakai jalan untuk berjalan baik melalui sisi kanan maupun sisi sebelah kiri. Dia juga dibolehkan untuk memilih jalan mana yang dia kehendaki. Fakta ini telah berlangsung di hadapan Rasul shollallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mendiamkan/menyetujuinya. Di samping itu, terdapat banyak hadits mengenai adab-adab di jalan. Maka apabila imam memiliki pandangan untuk mengatur lalu-lintas, dengan melarang sebagian perkara mubah dan menetapkan sebagian perkara mubah yang lain maka hal itu dibolehkan, sebab syariah telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa selama dia tidak memerintahkan kepada kemasiatan. Dengan demikian, syariat telah menjelaskan bahwa perintah penguasa dalam mengatur hal-hal yang mubah itu harus ditaati, dan telah menerangkan bahwa berjalan di jalan-jalan umum merupakan bagian dari perkara yang mubah. Dengan demikian, contoh yang dikemukakan ini sebenarnya telah dipaparkan oleh syariah seraya menjelaskan hukumnya dengan penjelasan yang jelas. Maka tidak dibenarkan bagi siapa saja untuk mengatakan bahwa syariah tidak memaparkannya.
Komentar Ketiga:
Perkataan penulis: Allah berfirman { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ... } (dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah -maka mereka orang kafir) dan Dia tidak berfirman «ومن حكم بغير ما أنزل الله...» (dan barangsiapa berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah -maka mereka orang kafir)Pembedaan ini berasal dari penulis catatan kaki, yang mana catatan ini telah mengungkap isi pikirannya secara eksplisit. Dan apa yang ada di benaknya itu merupakan perkara yang sangat genting, mengingat dia tidak berhenti pada tapal-batas contoh yang dia buat mengenai pengaturan masalah lalu-lintas. Dia memahami bahwa Allah menurunkan beberapa hukum, dan hukum-hukum  yang diturunkan oleh Allah itu mengatur sebagian aspek kehidupan dan meninggalkan sebagian sisi yang lain. Kita punya kewajiban untuk menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah itu, maka dengan penerapan itu kita telah berhukum dengan hukum Allah. Di sisi lain, karena terdapat aspek yang tidak diurusi oleh syariah kita (syariat tidak memaparkan penjelasan mengenai kehalalan dan keharamannya) maka kita harus membahas hukum-hukum atas perkara-perkara itu dengan mengunakan hukum yang bukan dari syariat kita (dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah). Atas dasar itu, tidak ada masalah jika ada orang yang berkata: Al Kitab dan As Sunnah merupakan salah satu sumber tasyri’ utama, namun keduanya bukan satu-satunya sumber. Dan tidak ada masalah pula jika ada yang berkata: kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman berbagai bangsa dan umat dalam bidang legeslasi hukum (artinya, mengimpor produk hukum). Sesungguhnya, gambaran ini merupakan kesesatan. Sebab, meski kita dibolehkan mengambil pelajaran dari umat lain dalam bidang ilmu, teknologi dan segala hal yang masuk dalam cakupan keumuman hadits "kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian", namun demikian kita tidak dibolehkan lepas dari hukum-hukum yang ada di dalam syariat kita meski hanya seujung rambut pun. Allah berfirman { وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ }  (dan berhati-hatilah terhadap mereka agar jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu). Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda "barang siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak berasal darinya, maka dia -urusan baru itu- tertolak".
Adapun ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita peroleh dari pengalaman kita sendiri atau dari pengalaman umat-umat yang lain maka hal tersebut memang dibolehkan dalam syariat kita. Yang demikian itu serupa dengan pengaturan masalah lalu-lintas di jalan. Sedangkan hadits yang mulia "kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" merupakan nash yang telah menunjukkan kebolehkan masalah ini, maka kita diberi pilihan untuk mengambilnya dari diri kita sendiri ataupun dari orang lain. Akan tetapi, kita wajib memahami batasan nash ini (urusan dunia kalian..). Batasan tersebut dapat dipahami dari nash yang lain. Ia merupakan perkara lain yang berdiri sendiri. Namun, alangkah baiknya jika disini kita memberikan sedikit rambu-rambu, bahwa urusan-urusan teknis (seperti kedokteran, fisika, kimia, ilmu antariksa, ilmu seputar tumbuhan dan hewan) teknologi yang dihasilkannya, semua itu tergolong perkara mubah, yang masuk ke dalam cakupan hadits ini. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara administrasi yang berguna untuk mengatur perkara-perkara mubah juga tergolong masalah mubah yang tercakup dalam pengertian hadits ini.
Dengan demikian, pengaturan administrasi, pembahasan dalam berbagai disiplin ilmu, serta aktivitas industri semuanya berjalan di bawah ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah. Dan secara majazi tidak salah jika dikatakan bahwa : “ia merupakan hukum atau amal yang dilakukan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah”. Namun tidak benar jika dikatakan bahwa ia: "merupakan hukum atau amal yang dijalankan dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah". Itu tidak benar, baik secara hakiki maupun majazi.
Sesungguhnya Allah telah menyeru NabiNya dengan firmanNya:
{ إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ }
(sesungguhnya Kami mer=nurnkan epadamu Al Kitab dan dengan benar agar enkau memberi putusan hukum di antara manusia dengan apa yang diajarkan oleh Allah)
dan dengan firmanNya
{ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنْ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ }
(dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab dengan haq sebagai pembenar apa yang turun sebelumnya dan sebagai batu ujian untuknya, maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah).
Ayat ini telah memberi batasan, bahwa memutuskan hukum itu harus dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Apabila kita telah memahami bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu telah cukup dan memadai, maka kita pun akan memahami bahwa tidak ada ruang bagi berlakunya hukum yang tidak diturunkan oleh Allah. Terdapat perkara yang serupa dengan hal itu di dalam hadits Rasulullaah shollallaahu 'alaihi wa sallam : "setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah maka dia batil, meskipun ia berupa seratus syarat", maksudnya: "setiap syarat yang bertentangan dengan apa yang diturunkan oleh Allah adalah batil", maka ungkapan "tidak ada di dalam Kitabullah" artinya adalah "bertentangan dengan apa yang ada di dalam Kitabullah".
Dengan demikian, orang yang menyatakan "menggunakan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah itu tidak apa-apa" adalah salah, sebab pada akhirnya itu sama saja dengan: "tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah". Maka kami berharap semoga penulis dapat mengoreksi pendapatnya tersebut [ttx].

[1] Diterjemahkan dari salah satu artikel di Majalah Al-Waie Arab
[2] Saya membaca perkataan ini ada pada catatan kaki no.3. Lihat: Dr. 'Ashim bin Abudullah Al Qoryuti, Jahalatun Khothiroh fi Qodhoya I'tiqodiyatin Katsiroh (Qatar: tp, 1404 H)

0 komentar:

Posting Komentar