Minggu, 06 Januari 2013

Darul Islam dan Darul Kufur / Darul Harb


Darul Islam dan Darul Kufur

Istilah Darul Islam dan Darul Kufur sering disinggung oleh para pakar Hukum Islam, khususnya dalam membahas ketentuan hukum yang mengatur relasi antara Negara Islam dengan wilayah-wilayah lain yang ada di luar batas yurisdiksinya. Meski demikian, tidak ada konsensus ulama mengenai fakta yang dikehendaki oleh istilah tersebut.
Terkait dengan hal ini, sekelompok ulama menyatakan: “Semua negeri yang di dalamnya kaum muslimin bisa menyerukan adzan, mendirikan sholat jama’ah, dan merayakan dua hari raya secara bebas, maka negeri itu tergolong darul Islam”.
Adapun Taqiyuddiin An Nabhani menyatakan: “daerah yang menerapkan sistem Islam, menegakkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan keamanannya ada di tangan Islam, dinamakan Darul Islam, meskipun mayoritas penduduknya nonmuslim. Sedangkan daerah yang tidak memenuhi dua karakter tadi, dinamakan Darul Kufur, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam”[1].
Dengan dua batasan ini –penerapan hukum Islam dan keamanan di tangan Islam-, beliau secara tegas menyatakan: “maka sesungguhnya seluruh negeri-negeri Islam sekarang ini merupakan Darul Kufur, karena negeri-negeri tersebut tidak berhukum dengan hukum Islam”[2].
Sebagian kalangan melihat bahwa pernyataan beliau ini absurd, membingungkan bahkan menggelikan. Bagaimana mungkin beliau bisa menyatakan bahwa seluruh negeri Islam saat ini tergolong darul kufur? Padahal negeri-negeri tersebut dipimpin oleh seorang muslim dan hampir seluruh penduduknya muslim. Di negeri-negeri itu juga dilaksanakan syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan dan sholat. Lebih jauh, ada di antara mereka yang menilai bahwa pernyataan beliau ini merupakan salah satu bentuk takfir (pengkafiran).
Penilaian semacam itu tidak perlu muncul jika kita mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan Darul Islam dan Darul kufur sebagai suatu istilah. Maka insyaaLlah makalah ini akan mengurai permasalahan ini lebih jauh. wabillaahit taufiiq
Makna dar secara bahasa
Kata dar secara etimologis, sebagaimana dipaparkan oleh penulis Al Lisaan, memiliki makna yang relatif luas, mencakup tanah lapang, bangunan, tempat kediaman, dan seluruh tempat yang singgahi oleh komunitas manusia. Menurut penuturan Ibnu Jinni, ad-daar berasal dari kata kerja daaro – yaduuru (artinya beredar mengitari suatu tempat), disebut demikian karena seringnya manusia berdomisili di dalamnya[3]. Al Qur’an menggunakan kata daar dalam memberi predikat kepada surga dan neraka, bahwa surga adalah Daarus Salaam karena ia merupakan tempat yang di dalamnya ada keselamatan, sementara neraka adalah Daarul Bawaar karena di dalamnya terdapat kebinasaan[4]. Ringkasnya, daar secara bahasa merujuk pada arti tempat.

Makna Darul Islam dan Darul Kufur

Istilah Darul Islam dan Darul Kufur sebenarnya terbentuk secara konvensional di kalangan ahli fiqh. Hanya saja, para pakar fiqh mengalamatkan istilah tersebut pada suatu fakta yang ditunjukkan oleh syara’. Sama seperti istilah Aqidah Islam, ia muncul secara konvensional, akan tetapi ia dialamatkan kepada sesuatu yang memiliki fakta di dalam nash-nash syara’ yakni, masalah-masalah keimanan[5]. Berbeda dengan kata ash-sholah, ia merupakan istilah yang digunakan oleh nash-nash syara’ dengan pengertian tertentu. Maka agar perdebatan mengenai pengertian Darul Islam dan Darul Kufur menjadi jelas, semua pihak perlu menyepakati dasar permasalahan yang melatarbelakangi kategorisasi tersebut.
Para ulama telah menggunakan istilah Darul Islam dan Darul Kufur dalam memperbincangkan masalah hubungan antara negara Islam dengan pihak luar[6]. Telah menjadi pemahaman umum di kalangan ulama bahwa negara Islam memiliki tanggungjawab untuk menyebarkan Islam dan menegakkan hukum-hukum Islam di seluruh penjuru bumi dengan dakwah dan jihad[7]. Islam telah mengatur prosedur jihad melalui hukum-hukum yang rinci[8]. Penyebaran islam dan perluasan wilayah pemberlakuan hukum Islam ke berbagai negeri di dunia –sebagai mana terlihat secara jelas dalam sirah nabawiyah- ditempuh dengan satu metode, yakni mendirikan negara islam, kemudian mengintegrasikan wilayah-wilayah disekitarnya ke dalam negara tersebut, sekaligus memberlakukan hukum-hukum syariat Islam ke seluruh wilayah yang telah berhasil diitegrasikan[9].
Proses integrasi negeri-negeri yang ada ke dalam negara Islam bisa terjadi melalui dua skenario. Pertama, terjadi secara damai; kedua, terjadi melalui peperangan (jihad). Proses integrasi secara damai bisa terjadi lewat dua kemungkinan: pertama, penguasa dan penduduknya masuk Islam dan mengintegrasikan wilayah mereka ke dalam negara Islam setelah sebelumnya didakwahi; kedua, pemimpin dan rakyatnya tidak mau masuk islam tapi mau tunduk kepada pemerintahan islam dengan membayar jizyah sehingga wilayahnya menjadi bagian dari negara Islam. Sementara pilihan perang (jihad) hanya akan dilakukan jika skenario damai tidak berjalan[10].
Di sinilah perlunya kategorisasi untuk membedakan antara wilayah yang telah dikuasai oleh umat islam dan diberlakukan hukum-hukum Islam di dalamnya dengan wilayah yang belum dikuasai oleh umat islam dan masih berlaku hukum-hukum kufur di dalamnya. Wilayah yang telah dikuasai sepenuhnya oleh umat islam dan ditegakkan hukum-hukum Islam di dalamnya belakangan dikategorikan sebagai Darul Islam, disebut demikian karena dominannya karakter Islam di sana, sekalipun sebagian besar penduduknya adalah ahlu dzimmah[11]. Adapun wilayah yang masih dikuasai kekuatan kufur dan di dalamnya masih diberlakukan hukum-hukum kufur kemudian disebut dengan istilah darul kufur, itu karena dominannya karakter kekufuran di sana[12], meskipun tidak menutup kemungkinan banyak penduduknya yang justru telah memeluk Islam. Darul kufur juga disebut Darul Harb (wilayah peperangan/teretory of war), dinamakan demikian karena wilayah tersebut merupakan target penyerangan bagi umat islam, mengingat menaklukkan wilayah tersebut untuk diintegrasikan ke dalam Darul Islam hukumnya adalah wajib kifayah. Adapun tujuan penaklukkan atau jihad dalam Islam adalah menghancurkan kekuatan politik-militer di suatu wilayah yang menghalangi dakwah dan penerapan hukum Islam[13]. Jadi Darul Kufur dan Darul Harb adalah dua kata yang merujuk pada fakta yang sama (sinonim)[14].
Wahbah Az Zuhaili menuturkan: “seluruh wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Islam di dalamnya diterapkan hukum-hukumnya dan ditegakkan syariat-syariatnya maka telah menjadi Darul Islam, kaum muslimin wajib mempertahankannya ketika ia diserang sebagai kewajiban kifayah sesuai kebutuhan, namun (jika sebagian saja tidak mencukupi) maka menjadi fardhu ‘ain”[15].
Abdul Wahhab Kholaf mengutip ungkapan sebagian fuqoha, bahwa Darul Islam adalah “wilayah yang didalamnya berlaku hukum-hukum Islam dan orang yang ada di dalamnya mendapatkan keamanan dengan kemamanan Islam, baik mereka itu muslim maupun dzimmi”[16]
Abdul Karim Zaidan menambahkan “Syarat paling penting untuk menggolongkan suatu wilayah menjadi Darul Islam ditinjau dari kenyataan bahwa wilayah itu diperintah oleh umat Islam di bawah kedaulatan dan kekuasaan mereka, dan hukum yang tampak di dalamnya adalah hukum Islam. Dan tidak disyaratkan bahwa wilayah itu harus dihuni oleh umat Islam selama ia masih di bawah kekuasaan mereka. Dalam hal ini Imam Ar Rofi’i menuturkan “Darul Islam tidak disyaratkan harus dihuni oleh umat Islam, akan tetapi yang penting ada di bawah kekuasaan Imam dan Islam”..”.[17]
Dalam konteks inilah, Kholid bin Walid menyatakan dalam suratnya:
“Dan saya tetapkan bagi mereka, barang siapa yang sudah tua dan tidak mampu bekerja, atau tertimpa musibah, atau asalnya kaya kemudian miskin, maka orang-orang yang seagama dengannya memberi shodaqoh untuknya, sementara pembayaran jizyahnya dibebaskan, dan nafkahnya ditanggung oleh Baitul Mal begitu pula keluarganya, itu selama orang tersebut masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam, namun apabila ia keluar dari darul Hijrah dan darul Islam, maka kaum muslimin tidak berkewajiban memberi belanja dan nafkah keluarga mereka”[18]
Jelas melalui ungkapan di atas, bahwa yang dimaksud Darul Islam oleh Kholid ra adalah daerah yang dikuasai oleh Islam dan diatur dengan hukum Islam. Sebab, siapa saja yang ada di sana menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusinya. Akan tetapi, apabila dia keluar dari wilayah tersebut, maka dia sudah di luar jangkauan hukum dan kekuasaan Islam.
Adapun Darul Harb, Az Zuhaili mendefinisikannya sebagai “wilayah yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam, baik sebagai hukum agama maupun politik, karena letaknya yang ada di luar wilayah kekuasaan Islam”[19].
Abdul Wahhab Kholaf menukil pernyataan sebagian fuqoha, bahwa Darul Harb adalah “daerah yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan penduduknya tidak dilindungi dengan keamanan Islam”[20]
Jadi, daerah di luar Darul Islam tergolong wilayah kekufuran alias wilayah perang (darul kufur/darul harb/teretory of war), dimana masyarakatnya tidak diatur menggunakan hukum Islam, jiwa serta harta mereka tidak dijamin oleh kekuatan Islam[21] dan jihad untuk menaklukkan wilayah tersebut  hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin[22]. Jika suatu Darul Kufur berhasil di taklukkan, dikuasai oleh umat islam dan ditegakkan hukum-hukum Islam di dalamnya, maka statusnya berubah menjadi Darul Islam[23]. Atas dasar itu jelas, yang menjadi faktor suatu wilayah berubah menjadi Darul Islam adalah dua hal, yaitu keamanan dan jenis hukum yang diterapkan di dalamnya.

Kapan Darul Islam berubah menjadi Darul Kufur

Berdasarkan dua syarat darul Islam di atas, maka suatu wilayah akan berubah menjadi darul Kufur jika kehilangan salah satu dari keduanya. Artinya, jika suatu wilayah tidak diterapkan hukum Islam, maka wilayah itu berubah menjadi darul kufur. Al Kasani mengatakan: “Apabila hukum kufur telah tampak jelas di suatu wilayah, maka ia berubah menjadi Darul Kufur, dan idhofah itu menjadi benar”[24]. Darul Islam juga akan berubah menjadi darul Kufur apabila berhasil dikuasai oleh kekuatan kufur, sehingga keamanan wilayah itu dipegang oleh kekuatan kufur, contohnya adalah sebagian besar wilayah Palestina yang dikuasai Israel.

Status Wilayah yang tidak diberlakukan hukum islam tapi dihuni oleh umat Islam

Status Wilayah yang dihuni umat Islam, tapi belum berlaku hukum islam di dalamnya adalah Darul kufur. Atas dasar itu, wajib untuk berusaha mengintegrasikannya ke dalam wilayah Darul Islam. Dalilnya adalah hadits dari Anas bin Malik ra yang diriwayatkan Al Bukhori.
“Adalah Rasulullah saw apabila menyerang suatu kaum tidak menyerangnya sebelum tiba waktu subuh, maka apabila beliau mendengar adzan, beliau menahan (peperangan), apabila tidak mendengar adzan, maka beliau menyerbu setelah mengerjakan subuh”
Juga hadits ‘Ishom al Muzani yang diriwayatkan oleh Al Khomsah (imam yang lima) kecuali Ibnu Majah, beliau berkata: Nabi saw apabila mengutus suatu sariyah beliau berkata:
“Apabila kalian melihat suatu masjid, atau mendengar orang adzan, maka janganlah kalian membunuh seorang pun!”.
Kedua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa beliau dan pasukan beliau melaksanakan misi militer di wilayah tertentu yang dihuni oleh umat Islam. Ini menunjukkan bahwa beliau menganggap wilayah tersebut sebagai sasaran penaklukan, alias Darul Harb. Hanya saja, untuk umat Islam yang menghuni wilayah itu tidak diperangi, tidak dibunuh dan hartanya tidak dijadikan ghonimah[25].

Status Wilayah yang berhukum dengan hukum Islam tapi belum bergabung ke dalam Khilafah

Wilayah yang berhukum dengan hukum Islam tapi belum bergabung ke dalam Khilafah termasuk Darul Islam. Hanya saja, penguasa wilayah itu dan pendukungnya dianggap seperti bughot. Kholifah wajib menyeru mereka untuk bergabung dalam satu pemerintahan. Jika menolak, kholifah harus memerangi mereka dengan perang yang mendidik.[26]

Status negeri-negeri muslim saat ini

Berdasarkan uraian di atas, maka apa yang dikatakan oleh Syaikh An Nabhani adalah valid, bahwa seluruh negeri muslim saat ini adalah Darul Kufur. Pasalnya, tidak ada negeri yang di dalamnya benar-benar diterapkan sistem Islam secara utuh. Namun perlu diperhatikan bahwa status penduduk dan pemimpin tidak mengikuti status dar. Penduduk dan pemimpin negeri-negeri islam tidak otomatis menjadi kufur ketika negerinya tergolong darul Kufur.
[Titok, 24/6/11]

[1] Mafaahiim Hizbit Tahrir, hal. 35,
[2] Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Jilid 2, hal. 250.
[3] Lihat: Lisaanul ‘Arob, bab dal- wawu- ro’
[4] Al Kasaani, Al Badaa-i’ ash Shonaa-i’
[5] Lihat: Mahmud Syaltut, Al Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan, hal. 9
[6] Lihat misalnya: Abdul Wahhab Kholaf, Politik Hukum Islam, hal. 71; Az Zuhaili, Atsarul Harb hal 166; dan Abu Zahroh, Al ‘Alaqot ad Dauliyyah, hal.
[7] Lihat: Al Juwaini, Ghiyatsul Umam, hal 15 dan 195;  Ibnu Qudamah, al Mughni, jilid 13, hal. 16; An Nawawi, Raudhotuth Tholibin, jilid VII, hal. 411; Az Zuhaili, Atsarul Harb, hal 67; Ad Dumaiji, Al Imamah al Udzma, hal. 81
[8] Lihat rinciannya misalnya dalam kitab Al Jihad wal Qital fis siyasatisy syar’iyyah oleh M. Khoir Haikal
[9] Proses penaklukkan dan integrasi negeri-negeri menjadi satu negara sangat terlihat dalam Sirah Nabi dan Shohabat. Lihat misalnya kitab Ma’aatsirul Inaafah (Al Qolqosyandi); Futuhul Buldan (Al Baladzuri).
[10] Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthoniyyah hal. 40
[11] Ar Rafi’i, Fathul ‘Aziz, Juz VIII hal. 14
[12] Lihat: Al Kasani, Al Badaa-i’ ash Shonaa-i’  hal 519.
[13] Lihat pembahasan ini dalam kitab Al Jihad wal Qital, hal. 743 - 768
[14] Haikal, Al Jihad wal Qital, hal 660.
[15] Az Zuhaili, Atsarul Harb fil Islam
[16] Abdul Wahhab Kholaf, Politik Hukum Islam, hal. 82
[17] Zaidan, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fi Daril Islam, hal 19.
[18] Abu Yusuf, Al Khoroj, hal. 144
[19] Az Zuhaili, Atsarul Harb, Hal, 170.
[20] Politik Hukum Islam, hal. 82
[21] Abdul Karim Zaidan, Ahkam adz Dzimmiyin wal al Musta’minin fi Daril Islam, hal. 20
[22] Abu Zahroh, Al ‘Alaqot ad Dauliyah fil Islam, hal 56
[23] Al Kasani, Bada’i’ ash Shona-i’, hal. 519
[24] ibidem, 519
[25] Hizbut Tahrir, Muqoddimatud Dustur, Jilid II, hal. 199.
[26] ibidem, hal 201

0 komentar:

Posting Komentar